Laman

Kamis, 08 Juni 2017

Mewujudkan KSN Perkotaan / Metropolitan PEKANSIKAWAN

Mewujudkan KSN Perkotaan / Metropolitan PEKANSIKAWAN





Gagap gempita pemerintah Provinsi Riau beserta seluruh stakeholder terkait yang terlibat dalam semaraknya   International Workshop dipenghujung tahun 2016 lalu tentu masih terekam jelas di ingatan kita semua. Dengan mengusung judul “Integrated Development Plan PEKANSIKAWAN” atau yang lebih dikenal dengan integrasi rencana pembangunan PEKANSIKAWAN sungguh mengesankan kita semua.
Acara tersebut tergolong acara yang cukup mewah dengan menghadirkan berbagai macam narasumber yang berasal dari dalam dan luar negeri seperti narasumber yang berasal dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), Kementerian Perhubungan (Kemenhub),  Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW), sementara itu narasumber yang berasal dari luar negeri yaitu, dari UTM Malaysia dan Negara Jepang.
Narasumber dari Kementerian juga turut didaulat untuk meyampaikan peran dan tupoksinya masing-masing dalam rangka memberikan dukungan serta pandangan pemerintah pusat dengan adanya PEKANSIKAWAN nantinya. Sementara itu narasumber yang berasal dari luar negeri menyampaikan pandangan-pandangan beliau yang diperoleh dari kajian-kajian serupa yang ada di negara mereka masing-masing seperti di negara Malaysia yang terkenal dengan Iskandar Development Region (IRDA) dengan menggabungkan Kota Johor Bahru dan sebagian wilayah Pontian, Senai serta Pasir Gudang. Begitu juga narasumber yang berasal dari Jepang yang cenderung mengusung konsep penguatan disektor kemandirian ekonomi dimasing-masing desanya dengan pendekatan one village one product.
Acara tersebut dihadiri oleh berbagai tamu undangan baik lokal mau pun internasional dan dibuka langsung oleh Sekda Provinsi Riau yaitu Bapak Ahmad Hijazi. Tentu semua pihak yang hadir akan dibuat bertanya-tanya apa yang di maksud dengan PEKANSIKAWAN tersebut?, tidak jarang penyederhanaan penjelasan tersebut kerap kali di klaim dengan istilah “Pekanbaru ingin dibuat seperti JABODETABEKPUNJUR” Singkatan Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi dan Cianjur. lantas bagaimana pula bentuk integrasi 3 (tiga) Kabupaten dan 1 (satu) kota tersebut nantinya yang diberi nama PEKANSIKAWAN (Pekanbaru, Siak, Kampar dan Pelalawan)?, serta apa saja dampak positif yang bisa dirasakan jika PEKANSIKAWAN ini terwujud?, Paling tidak itu lah pertanyaan-pertanyaan sederhana yang bersarang difikiran kita saat ini terkait PEKANSIKAWAN.
Dikalangan para akademisi, praktisi ahli perencanaan wilayah dan kota yang ada di Provinsi Riau barang tentu ini akan sangat menarik perhatian mereka. Pembahasan terkait PEKANSIKAWAN acap kali menjadi buah bibir dimana-mana. Sembari bertanya akan dibawa kemanakah Ibukota Provinsi Riau kedepannya yang saat ini memiliki jumlah penduduk mencapai 1.011.467 (satu juta sebelas ribu empat ratus enam puluh tujuh) Jiwa beserta 3 (tiga) Kabupaten tetangganya?. (Sumber: Pekanbaru dalam angka, 2015)

Semua berawal dari sini
Riak-riak terkait PEKANSIKAWAN memang sudah jauh-jauh hari didengung-dengungkan pertama kali oleh Pemko Pekanbaru. Puncaknya pada tanggal 14 desember 2014 lalu yaitu dengan terwujudnya nota kesepakatan kerjasama pembangunan dalam konteks regional antara empat daerah tersebut. Adapun point-point yang disepakati dalam kerjasama pembangunan tersebut seperti: 1. Peningkatan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, 2. Percepatan pengembangan daerah perbatasan, 3. Pengelolaan potensi daerah dengan saling menguntungkan demi kepentingan masyarakat. Lebih lanjut berdasarkan Memorandum of Understanding (MoU) No. 100/KERJ/XII/22/2014, disebutkan bahwa objek kerjasama yang disepakati oleh setiap daerah di PEKANSIKAWAN tersebut meliputi: 1. Bidang sosial budaya, 2. Bidang tata ruang dan lingkungan hidup, 3. Bidang sosial ekonomi, 4. Bidang sarana dan prasarana.
Pada dasarnya point-point kerjasama diatas begitu sangat wajar terjadi, mengingat seiring dengan terus meningkatnya jumlah penduduk dan begitu pesatnya perkembangan pembangunan di Kota Pekanbaru tentunya menyisahkan persoalan-persoalan baru yang turut hadir sebagai dampaknya. Persoalan-persolan tersebut terkadang ada yang didalam penyelesaiannya membutuhkan kerjasama antara kota utama dengan daerah disekitarnya (lintas wilayah administrasi).
Perubahan fungsi peruntukan lahan pada kawasan-kawasan disekitar periphery (pinggiran) wilayah administrasi Kota Pekanbaru dengan desa-desa mau pun kelurahan milik kabupaten tetangga yang dulunya hanya berupa kawasan pertanian (sektor agraris) dan perkebunan perlahan-lahan bertransformasi menjadi perumahan dan permukiman penduduk serta aktivitas perdagangan dan jasa ikutan lainnya turut bermunculan sebagai bentuk adanya penjalaran sifat dan fungsi kota sampai ke kawasan luar wilayah Kota Pekanbaru. 
Tingginya harga lahan diperkotaan tidak dapat dihindari sejauh ini, kota-kota besar di Indonesia mengalami fenomena yang serupa. Sementara kemampuan daya beli warga kota mau pun warga pendatang yang bekerja di Kota Pekanbaru tidak secara menyeluruh dalam kondisi taraf ekonomi mempuni yang mampu membeli lahan-lahan diperkotaan yang terbilang kian menggila saja. Hanya mereka-mereka yang ber-uang saja yang bisa melakukannya. Tawaran Perumahan-perumahan dan murahnya harga lahan dikawasan pinggiran menjadi opsi terbaik saat ini. Maka wajar saja kawasan pinggiran-pinggiran kota kita berubah dengan pesatnya menjadi area terbangun (build up area).
Sementara itu berbagai fasilitas pendidikan, kesehatan tempat bekerja, bahkan tempat hiburan penduduk pinggiran cenderung dilakukan ke Kota Pekanbaru. fasilitas-fasilitas milik kabupaten domisili mereka sebenarnya juga ada, Namun umumnya letaknya yang begitu jauh berada di pusat Ibu Kota Kabupaten masing-masing. Maka faktor kedekatan jarak menuju pusat ibu kota provinsi menjadi salah satu alasan mereka memilih lokasi tersebut. Dalam fenomena ini dikenal dengan istilah kemampuan jangkauan pelayanan suatu pusat pelayanan terhadap kawasan disekitarnya.
Menyadari kota sejatinya merupakan pusatnya pelayanan jasa, pemerintahan, pelayanan sosial dan memiliki kegiatan ekonomi  yang lengkap. Wajar saja setiap orang yang tinggal pada kawasan perkotaan mau pun pinggiran kota mengingingkan kedekatan untuk mengakses ke pusat-pusat pelayanan tersebut. tidak heran ketika pagi dan sore hari aktivitas hilir mudik warga pinggiran kota yang berdomisili pada wilayah administrasi milik kabupaten tetangga mulai memadati beberapa koridor-koridor jalan utama sebagai penghubung menuju ke pusat kota seperti Jalan Kaharudin Nassution, Jalan Lintas Pasir Putih, Jalan HR. Soebrantas menuju jalan lintas Pekanbaru – Bangkinang. Dampaknya adalah terjadinya kemacetan berjamaah yang tidak dapat lagi dihindari setiap harinya.
Disisi lain masing-masing potensi milik kabupaten/kota tersebut sejauh ini tampak belum benar-benar tereksplor secara maksimal. Salah satu penyebabnya adalah belum adanya dukungan moda transportasi wisata khusus yang digagas pemerintah kabupaten/kota dalam bentuk paket-paket perjalanan wisata yang  dikemas dalam bentuk kerjasama antar daerah dengan dukungan masing-masing pemerintah sehingga dirasa persoalan ini menjadi salah satu kendala didalam menarik wisatawan lokal mau pun wisatawan luar negeri menuju masing-masing destinasi wisata yang terdapat di empat kabupaten/kota tersebut. Peran kolaborasi antar pemerintah Provinsi, Kabupaten dan kota sangat diperlukan didalam menangani persoalan ini salah satunya adalah disektor transportasi.

Sekilas Jakarta dan kota kita seperti apa?
Membandingkan antara Kota Jakarta dan Kota Pekanbaru mungkin terkesan terlalu dini. Dari segi jumlah penduduk saja tentu sudah sangat jauh berbeda yaitu, hampir 10 kali lipatnya dari jumlah penduduk Kota Pekanbaru. Namun indikasi gejala Kota Pekanbaru menuju seperti Kota Jakarta perlahan-lahan mulai kita rasakan. apa bedanya Jakarta dengan Kota-kota satelit dibelakangnya. Setiap pagi hari penduduk-penduduk dibelakang ibu kota berbondong-bondong menuju pusat Ibu kota dengan tujuan berbeda-beda. Ada yang  bepergian untuk bekerja, sekolah, kuliah dan lain sebagainya. sementara itu disore harinya juga sama mereka berbondong-bondong untuk kembali ke daerahnya masing-masing. Dalam konteks seperti ini peran pemerintah hadir dengan mengusung berbagai macam konsep pengembangan kota dengan pendekatan kerjasama antar wilayah dengan daerah-daerah disekitarnya dalam rangka memberikan pelayanan semata-mata untuk kepentingan publik guna mendukung aktivitas pergerakan orang tersebut melalui penyediaan sarana dan prasarana transportasi masal misalnya.
Hadirnya transmetro Pekanbaru yang membuka trayek menuju kebeberapa kawasan di daerah tetangga, kita rasa sudah menunjukan adanya permintaan dan kebutuhan akan moda transportasi umum untuk menunjang aktivitas pergerakan warga-warga di daerah pinggiran tersebut untuk menuju kota mau pun sebaliknya. Sebut saja rute moda transmetro yang menuju ke Pasir Putih, Perumahan Pandau Permai, dan beberapa kawasan perbatasan Pekanbaru – Kampar  lainnya. Dan kedepan tidak menutup kemungkinan terbukanya trayek-trayek transmetro Pekanbaru lainnya menuju Ke Kecamatan Minas Kab. Siak dan Ke Kecamatan Bandar Sei Kijang Kab. Pelalawan lainnya.

KSN perkotaan /Metropolitan PEKANSIKAWAN
Gayung bersambut sepertinya ungkapan yang tepat menggambarkan kondisi saat ini. konsep PEKANSIKAWAN tampaknya benar-benar menarik perhatian pucuk  tertinggi pemerintah Provinsi Riau. Benar saja, harapan yang begitu besar terhadap PEKANSIKAWAN bisa kita rasakan atmosfirnya kala itu dalam acara International workshop “Integrated Development Plan PEKANSIKAWAN” yang ditaja oleh Pemerintah Provinsi Riau saat itu melalui Dinas terkait.  Konsep PEKANSIKAWAN dirasa memiliki peluang yang lebih besar lagi kedepannya untuk ditingkatkan menjadi bagian dari kepentingan nasional sehingga peluang tersebut bisa direalisasikan dengan menjadikan Pekanbaru, Siak, Kampar dan Pelalawan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) Kawasan Perkotaan / Metropolitan PEKANSIKAWAN.
Namun wewenang untuk mewujudkan hal tersebut tentu  hanya bisa dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Riau. Batasan ini pula lah yang dirasa membatasi wewenang Pemko Pekanbaru selama ini. Oleh sebab itu, harus ada payung utama rencana tata ruang dan aturan yang lebih tinggi lagi dalam membingkai konsep ini. paling tidak adalah dengan memasukan PEKANSIKAWAN menjadi RTR KSN dan di ikat dengan Perpres, dengan demikian secara tidak langsung mau tidak mau didalam proses revisi RTRWN nantinya dikementerian terkait mengenai usulan Pemerintah Provinsi Riau terhadap KSN Perkotaan/ Metropolitan PEKANSIKAWAN diharapkan akan bisa Terakomodir.
Meskipun selama ini kita tahu wewenang penetapan suatu KSN bersifat Top down Planning (perencanaan dari atas kebawah), yaitu melalui Kementerian terkait yang menetapkan dan melakukan kajiannya. Namun Pemerintah Provinsi Riau tampaknya akan melakukan pendekatan yang sedikit berbeda terkesan bersifat Bottom up planning (perencanaan dari bawah ke atas) dengan melakukan pengusulan sendiri ke Pemerintah Pusat.

Apa itu Kawasan Metropolitan dan KSN?..
Kawasan Metropolitan itu sendiri didalam undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang didefenisikan sebagai kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan disekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan system jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa.
Melihat kondisi eksisting hari ini Kota Pekanbaru secara tidak langsung sudah menjadi kawasan perkotaan inti yang juga mengemban fungsi sebagai Ibu kota Provinsi Riau. Dan kondisi ini merupakan salah satu kriteria didalam pengusulan KSN Perkotaan/metropolitan PEKANSIKAWAN ke Pemerintah pusat nantinya. Selain itu dari segi jumlah penduduk, penduduk Kota Pekanbaru saat ini sudah mencapai satu juta jiwa. Dan data jumlah penduduk ini belum termasuk data jumlah penduduk yang akan masuk dalam penetapan deleniasi kawasan metropolitan PEKANSIKAWAN nantinya. Penetapan deleniasi batas fisik kawasan PEKANSIKAWAN tentunya diperoleh dari hasil kajian pengembangan wilayah kawasan PEKANSIKAWAN dengan menggunakan berbagai macam metode dan analisis yang biasanya digunakan oleh para perencana wilayah dan kota (Planner) nantinya.
Ada hal yang menarik dan mungkin akan menjadi tanda tanya oleh pembaca budiman. Dalam uraian diatas saya sempat menyinggung adanya istilah Kawasan Strategis Nasional (KSN). KSN itu sendiri jika mengacu kepada undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang maka KSN adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan Keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya dan / atau lingkungan termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
Oleh karena itu KSN merupakan bagian dari produk Rencana tata ruang, yang membedakannya dengan produk rencana tata ruang lainnya seperti RTRW adalah tingkat kerincian secara substansi mau pun dari skala peta yang  digunakan. Jika RTRWN, RTRWP, RTRW Kab/kota hanya bersifat umum sedangkan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis cenderung lebih rinci. Kerincian tersebut bisa dilihat dari isi substansi didalam rencana tata ruang (RTR) tersebut. Selain itu penyusunan RTR KSN disusun berdasarkan prioritas dasar serta kepentingan apa yang ada pada suatu kawasan tersebut. Hal ini dijelaskan didalam pasal 14 ayat 3 UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, sehingga perlu dibuatkan sebuah produk rencana tata ruang tersendiri untuk mengemasnya yaitu berupa RTR KSN.
Dasarnya apakah disusun karena menyangkut kepentingan nasional maka disusun lah Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN), jika suatu kawasan dalam suatu provinsi memiliki kawasan strategis yang sangat berpengaruh terhadap kepentingan provinsi maka disusun lah Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi (RTR KSP), begitu juga jika sampai di level kabupaten, maka disebut lah dengan namanya Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten/kota (RTR KSK) karena adanya kepentingan kawasan strategis kabupaten/kota pada daerah tersebut.
Sama halnya dengan produk rencana tata ruang wilayah yang selama ini kita kenal. Ada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), ada Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan ada juga Recana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan Kota (RTRWK) semua produk rencana tata ruang tersebut disusun berdasarkan hierarki (jenjang) wilayahnya. Mana yang menjadi domain pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Maka masing-masing produk perencanaan tata ruang tersebut agar memiliki legalitas hukum dalam pelaksanaanya harus disahkan berdasarkan hierarkinya pula. Jika RTRWN maka harus disahkan menjadi produk hukum berupa Peraturan Pemerintah tentang RTRWN, jika dilevel provinsi maka produk RTRWP tersebut akan menjadi produk hukum berupa Perda RTRWP yang sedang kita tunggu-tunggu sampai hari ini nasibnya. Demikian juga sampai dilevel kabupaten/kota, nantinya akan menjadi Perda RTRW Kabupaten/kota untuk daerahnya sendiri.

Sekilas jenis-jenis KSN yang ada di Provinsi Riau
Dari defenisi KSN yang saya uraikan diatas. Dapat kita uraikan secara spesifik lagi, bahwa KSN itu sendiri terdiri dari berbagai jenis tergantung dari aspek sudut kepentingannya. Seperti dari sudut kepentingan Kedaulatan Negara yaitu berupa KSN Perbatasan Negara, untuk di Provinsi Riau sendiri terdapat 4 (empat) Kabupaten/kota yang masuk kedalam KSN Perbatasan Negara antara lain Kab. Rokan Hilir, Kota Dumai, Kab. Bengkalis dan Kab. Kep. Meranti mengingat posisi empat kabupaten tersebut berbatasan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura sehingga penanganan tata ruang-nya perlu dilakukan secara tersendiri pula karena menyangkut batas kedaulatan negara Republik Indonesia yang ada di Provinsi Riau dengan negara tetangga. Ibarat rumah, kawasan perbatasan negara merupakan teras terdepan rumah kita dengan si tetangga. Cantik atau tidaknya mencerminkan kepribadian dari si pemiliknya. Selain itu kawasan perbatasan negara merupakan pintu terdepan dari rumah kita, sehingga upaya pengamanan hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang akan mengancam kedaulatan NKRI sangat perlu diperhatikan sekali terutama dari aspek penataan ruangnya. 
Dari aspek sudut kepentingan lingkungan di Provinsi Riau adanya KSN Hutan Lindung Bukit Batabuh dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (HL BB dan TNBT) yang terdapat di Kab. Kampar, Kab. Kuansing dan untuk TNBT terdapat di Kab. Indragiri Hilir dan Kab. Indragiri Hulu serta yang terakhir adalah KSN Hutan Lindung MAHATO yang terdapat di Kab. Rokan Hulu.
Paling tidak saat ini keempat KSN tersebut masih dalam proses pembahasan dan koreksi kembali terutama koreksian terhadap Materi Teknis (matek) KSN tersebut dan Koreksian terhadap draft Raperpres-nya oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) dengan melibatkan Dinas PUPR serta Bappeda Provinsi Riau beserta stakeholder terkait lainnya di Provinsi Riau melalui dana dekonsentrasi Kementerian ATR, karena penyusunan keempat RTR KSN diatas digagas langsung pemerintah pusat melalui kementerian terkait dalam hal ini adalah kewenangan Kementerian ATR.
Ketika KSN sudah menjadi Perpres maka kewenangan Pemerintah Pusat akan masuk baik dalam hal pengelolaan dan pembiayaanya. Hanya tinggal berbagi kewenangan saja nantinya dengan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten yang terkait didalam pengelolaan kawasan tersebut. Apalagi jika sudah dibentuknya Badan Kerjasama Antar Daerah (BKAD) oleh Pemprov Riau, akan semakin memperkuat daerah-daerah tersebut untuk bersama-sama mewujudkan PEKANSIKAWAN. Pertanyaan besarnya sekarang adalah sebesar apakah pengaruh KSN PEKANSIKAWAN ditingkat nasional nantinya, sehingga perhatian pusat yang kita harapkan melalui APBN-nya bisa membantu?, bagaimana pula strategi Pemprov Riau untuk menggiringnya sampai menjadi Perpres?, Sementara itu daftar antri KSN baru yang sudah lebih dahulu hadir di meja Kementerian milik provinsi-provinsi lainnya di Indonesia juga sudah banyak. Belum lagi KSN yang sudah masuk kedalam RTRWN, bagaimanakah tindak lanjutnya?, Begitu besarkah peran dan bantuan pusat pada KSN yang sudah ada?..
Paling tidak untuk saat ini didalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) terdapat 7 (tujuh) kawasan metropolitan yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat:
1.  Kawasan Perkotaan Medan-Bijau-Deli Serdang-Karo (MEBIDANGRO).
2.  Kawasan Perkotaan DKI Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Cianjur (JABODETABEKPUNJUR)
3. Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung (Kota Bandung, Kota Cimahi, kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Sumedang)
4.  Kendal, Demak, Ungaran, Salatiga, Semarang, Dan Purwodadi (KEDUNGSEPUR).
5. Kawasan Perkotaan Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan (GERBANGKERTOSUSILA).
6.  Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (SARBAGITA).
7.  Kawasan Perkotaan Makassar, Sungguminasa (Gowa), Maros, dan Takalar (MAMMINASATA).
Sementara itu didalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 yang terakomodir didalam Peraturan Presiden  Nomor 2 Tahun 2015 saja sudah  menetapkan 5 (lima) kawasan perkotaan metropolitan baru dari masing-masing provinsi yang ada di Indonesia yaitu:
1.  Metropolitan Baru Padang-Pariaman-Lubuk Alung (PALAPA) miliknya Pemprov Sumbar
2.  Metropolitan Baru Patungraya Agung
3.  Metropolitan Baru Banjarmasin, Banjarbaru, Baritokuala (BANJARBAKULA)
4.  Metropolitan Baru Bitung-Minahasa-Manado (BIMINDO)
5.  Metropolitan Baru Mataram Raya

Menerjemahkan mimpi besar
Mewujudkan Kawasan Perkotaan /Metropolitan PEKANSIKAWAN menjadi KSN sudah tentu adalah tujuan utama Pemerintah Provinsi Riau. jika kita adopsi dari penjabaran defenisi KSN diatas maka barang tentu disatu sisi ini merupakan sebuah langkah tepat yang diambil pemerintah untuk memasukkan Kawasan Perkotaan /Metropolitan PEKANSIKAWAN menjadi Kawasan Strategis Nasional yang memiliki pengaruh sangat penting secara nasional terutama dari aspek ekonomi-nya. Namun kita perlu bertanya kembali seberapa pentingkah posisi KSN PEKANSIKAWAN nantinya dilevel nasional terutama dari aspek ekonominya?..
Kita harus menyadari bagaimanapun dinamika politik ditingkat pusat turut mempengaruhi maju atau tidaknya KSN pada suatu provinsi. Mengingat arah kebijakan perencanaan pembangunan ada ditangan pemerintah pusat. Sang kepala negara tentunya juga memiliki program-program kerja tersendiri yang diterjemahkan lewat menteri-menterinya. Seperti yang terkenal saat ini di pemerintahan Pak Jokowi dan JK melalui NAWACITA-nya ( 9 agenda prioritas) salah satu point yang lagi menjadi fokus pembangunan pemerintah pusat adalah mengusung konsep membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Sudah terbayang oleh kita arah kebijakan pembangunan pemerintah kita saat ini. wajar saja pembangunan sedang gencar-gencarnya menyasar pada kawasan Timur Indonesia.
Kita sadar Kota Pekanbaru memiliki kecenderungan dominan aktivitas disektor perdagangan dan jasa. Hal ini tentunya sudah sejalan guna mendukung mewujudkan visi dan misi Pemerintah Provinsi Riau yang tertuang didalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Provinsi Riau 2020 yaitu, “Terwujudnya Provinsi Riau Sebagai Pusat Perekonomian dan Kebudayaan Melayu Dalam Lingkungan Masyarakat yang Agamis, Sejahtera Lahir dan Batin di Asia Tenggara Tahun 2020”. Terlebih lagi jika mimpi kita didalam RPJMD bisa dicantolkan lagi menjadi bagian dari kepentingan nasional, tentunya akan lebih besar lagi pengaruhnya dan manfaatnya bagi Pemprov dan masyarakat Provinsi Riau. Pertanyaan kita sekarang kembali lagi. sejauh apakah potensi kestrategisan KSN Perkotaan / Metropolitan PEKANSIKAWAN dimata pemerintah pusat??..

Masih butuh waktu panjang
Tahapan dalam proses untuk mewujudkan KSN tersebut tentunya masih  sangat panjang paling tidak saat ini saja Pemerintah Provinsi Riau harus membuat dokumen kajian Pengembangan Kawasan PEKANSIKAWAN yang umumnya akan dilengkapi dengan Draft Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) sebagai usulan di tingkat Kementerian. Selain itu RTRWN ditingkat nasional baru saja selesai direvisi dengan sudah diterbitkannya PP No. 13 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Artinya Pemerintah Provinsi Riau harus menunggu 5 (lima) tahun lagi untuk bisa memasukan KSN Pekansikawan kedalam RTRWN. Mengingat jangka waktu setiap produk rencana tata ruang seperti RTRWN, RTRWP,RTRW Kab/Kota sebagaimana yang diatur didalam UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, pada pasal 26 ayat 5 ditinjau 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
Sementara itu, koreksi dan pembahasan ditingkat lembaga mau pun Kementerian terkait terhadap materi teknis dan draft Raperpres kawasan KSN perkotaan / Metropolitan PEKANSIKAWAN juga akan memakan waktu yang panjang ditambah lagi dengan situasi tak kunjung adanya PERDA RTRW Provinsi Riau mau pun RTRW Kabupaten/kota di Provinsi Riau sebagai legalitas pemerintah daerah mau pun pusat didalam melakukan berbagai kebijakan penataan ruang, tentunya akan menyisahkan masalah tersendiri nantinya.
Mengingat ketika kita berbicara mengenai penetapan deleniasi kawasan yang akan masuk kedalam PEKANSIKAWAN maka kita juga akan berbicara batas adminitrasi kawasan dan akan berbicara juga batas fisik, serta batas fungsi kawasan. Oleh sebab itu aspek legalitas peruntukan pemanfaatan ruang sangat kita harapakan terlebih dahulu hadir melalui adanya Perda RTRW.

Mimpi besar pemerintah Provinsi Riau kedepan sejatinya ingin menjadikan Kawasan perkotaan /Metropolitan PEKANSIKAWAN sebagai salah satu kawasan yang menjadi kepentingan nasional yang nantinya hal tersebut akan diakomodir kedalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang  Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Dengan demikian artinya PEKANSIKAWAN kedepan akan memiliki peluang besar untuk terus dikelola dikarenakan adanya wewenang Pemerintah pusat terhadap PEKANSIKAWAN, mengingat peran dan tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam membantu melalui pembiayaan yang bersumber dari sektor ABPN juga akan melekat nantinya ketika sudah menjadi Perpres.
Melihat kondisi dan situasi seperti saat ini, kita rasa mewujudkan mimpi besar untuk menjadikan PEKANSIKAWAN sebagai KSN Perkotaan/Metropolitan PEKANSIKAWAN akan benar-benar sangat menantang dan membutuhkan keseriusan dalam jangka panjang. Sehingga kita rasa diperlukannya strategi dan pendekatan tersendiri didalam mewujudkannya. Peran dan kerjasama seluruh stakeholder tentunya akan sangat berperan penting dalam membantu mewujudkannya





Sabtu, 19 April 2014

MENUJU KOTA TAK BERIDENTITAS



MENUJU KOTA TAK BERIDENTITAS


            Kota sejatinya tidaklah jauh berbeda dengan manusia. Jika manusia memerlukan sebuah nama untuk membedakan antara manusia satu dengan manusia yang lainnya. fungsi nama juga banyak lagi kegunaanya, mengingat nama merupakan sebuah identitas jati diri seseorang seseorang yang diperoleh dari kesepakatan antara kedua orang tua kita dulu kepada kita. Namun, apa kah cukup dengan menggunakan sebuah nama saja kita sudah dengan gampangnya akan dikenal dan di ingat oleh orang? Apalagi jika kita bertemu dengan dua orang yang memiliki nama yang serupa.
Tentunya kita akan semakin sukar pula membedaknnya bukan? Nah,,,pastinya  kita dituntut untuk memberikan tambahan-tambahan informasi lebih detil lagi untuk membedakan dua orang yang memiliki nama yang sama tadi tentunya. Seperti jenis kelamin, tinggi badan, warna kulit, model rambut, bentuk kumis, logat berbicara, tahi lalat dan masih banyak lagi cara kita untuk membedakan antara orang yang satu dengan orang yang lain. Dengan demikian tentunya kita pasti akan semakin mudah dan gampangnya mengenal dan membedakan dua orang tersebut.

Hal tersebut juga tidak jauh berbeda dengan sebuah Kota/Propinsi. Jika kita mendengar  nama Kota Sumatera Barat (Sumbar) apa yang ada di fikiran kita tentang sumbar? Fikiran kita tentunya lantas secara langsung akan membayangkan hal-hal yang cenderung dengan mudah dan gampangnya diingat oleh semua orang bukan??, seperti simbol rumah gonjong yang menyerupai tanduk di ujung-ujung atap bangunannya (sebutan rumah adat sumbar), Simbol Jam gadangnya, simbol tugu penari piringnya, rumah adatnya, kondisi jalannya. Kesemuanya itu merupakan ciri khas dari Kota/Propinsi Sumbar yang tanpa disadari oleh kita merupakan bagian dari elemen pembentuk identitas suatu kota yang sering disebut sebagai wajah kota. Dan itu merupakan bagian pembentuk jati diri dari masing-masing Kota/Propinsi yang tidak akan pernah dimiliki oleh Kota/Propinsi mana pun di negeri ini.  Dan itu lah kota yang beridentitas.
Begitu juga jika penulis menyebutkan nama Sumatera Selatan (Palembang), tentunya kita semua akan dengan cepat membayangkan bagaimana kondisi disana seperti adanya sebuah sungai yang membelah kotanya, adanya sebuah jembatan yang terkenal dengan gaya dan corak arsitektural yang menjadi kebanggaan sekaligus maskot Kota/Propinsi mereka yaitu jembatan amperanya.

Berbicara wajah Kota tentunya sangat erat keterkaitannya dengan arsitektural kota itu sendiri siapa dan bagaimana masyarakatnya. Jauh-jauh hari Prof. Eko budihardjo bercerita dalam bukunya yang berjudul Tata Ruang Perkotaan (1997) beliau menyebut “kota seperti halnya arsitektural, sering disebut sebagai cerminan budaya masyarakatnya”.
Artinya, sebuah Kota/Propinsi dapat terlihat kondisi budayanya masih terjaga kah?, terpelihara kah?, dicintai kah oleh masyarakatnya, Kepala Daerahnya. kesemua itu bisa terlihat dari corak-corak bangunan yang ada di Kota/Propinsi tersebut.
Jika semakin sulit ditemukannya arsitektural khas suatu Kota/Propinsi, tentunya semakin mulai terasa pula mumudarnya identitas budaya dari suatu kota. Keacuhan dan ketidak pedulian warga kotanya juga turut memberikan indikasi budaya suatu kota/Propinsi yang mulai ditinggalkan terlebih lagi oleh kepala daerahnya itu sendiri yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga, melindungi hasil nilai-nilai kebudayaan, kearifan lokal di daerahnya sendiri yang di ekspresikan lewat corak arsitektural asli daerahnya. namun terkadang  justru sang kepala daerah pula yang menjadi oktor utama dibalik hilangnya identitas suatu kota.

Wajah Kota Pekanbaru hari ini

Ditengah Hiruk pikuknya pembangunan Kota Pekanbaru sebagai pusat ibu Kota Propinsi Riau dan juga sebagai pusat Pemerintahan Kota Pekanbaru, secara tidak langsung menjadikan Kota Pekanbaru sebagai barometer penilaian utama orang luar terhadap Riau.
Bagaimana kesan tersebut tercipta tentunya tidak terlepas dari bagaimana wajah kotanya. perkembangan pembangunan di Kota Pekanbaru tampaknya belakangan ini mulai mengarah kepada pembangunan gedung-gedung yang berbau modernisasi ala luar negeri yang sengaja ataupun memang benar-benar sengaja tidak menyematkan nilai-nilai, unsur arsitektural budaya melayu yang merupakan ciri khas kebanggaan dari warga melayu Riau.
Selembayung berwarna kuning cantik nan elok ditambah ukiran yang menawan tidak pernah lepas dari corak yang sengaja disematkan disetiap model bangunan khas Riau, itu pun hanya disematkan pada bangunan-bangunan lama milik pemerintah yang lambat laun juga akan mengalami nasib yang menyedihkan yaitu dibongkar dan diganti dengan model bangunan yang baru.
Bangunan-bangunan milik pemerintah sendiri seperti Gedung Perpustakaan Soeman Hs yang kebesaran rangka, Gedung sembilan lantai nan megah serta canggih berbalutkan kaca disamping kantor Gubernuran, Gedung Bank Riau Kepri yang tak kalah berkaca-kacanya, dan yang terakhir adalah Kantor milik Dinas Pekerjaan Umum (PU) di Arengka dua yang tak kalah canggih dan hebatnya dengan gedung sembilan lantai disamping gubernuran.

Kondisi tersebut menurut penulis, ini merupakan pertanda mulai terlihatnya selera pemimpin negeri kita saat ini kepada arsitektural yang berbau kenegri-negrian luar, milik orang luar dibandingkan kecintaan mereka terhadap arsitektural asli Riau itu sendiri. dan hal ini patut kita pertanyakan. Ada apa dengan arsitektural budaya melayu Riau? Kian hari kian dizolimi, dicampakkan dan kian hari kian ditinggalkan. Apakah kemajuan harus di ukur dari tingkat kecanggihan dan kemelekan pemerintah yang dengan gampangnya mengadopsi arsitektural bergaya luar negeri biar enggak dianggap kuno atau ndeso?? Atau kepala daerah tersebut menganggap gaya arsitektural milik negeri tetangga atau negara-negara di Barat, Eropa bahkan di Timur tengah sana jauh lebih bagus dan mantap sementara corak arsitektural bangunan khas Suku asli melayu Riau dianggap kuno dan tak elok?? Lantas dengan mudahnya begitu saja membongkar, merombak bangunan-bangunan asli berciri khas kan arsitektural melayu Riau yang memiliki nilai sejarah kehistorisan tinggi dari nenek moyang suku asli melayu Riau sendiri.
Kita patut mempertanyakan mengapa pemerintah kita lebih suka mengikut-ikuti gaya arsitektural hasil karya budaya negara orang lain diluar sana. Yang tidak ada sangkut paut, hubungannya sama sekali dengan latar belakang kehistorisan arsitektural budaya melayu Riau. Kesan yang tercipta jika kita terlalu membanggakan sampai dengan mengadopsi gaya arsitektural milik orang, kita terkesan seperti orang yang tidak memiliki jati diri, seperti orang yang tidak punya sejarah kebudayaan masa lalu.
Peng-copy paste-an arsitektural bergaya luar negeri justru hanya akan membuat kebingungan para pendatang yang berasal dari luar kota melihat wajah Kota/Propinsi kita yang mirip dan serupa dengan negara luar disana. Terlebih lagi jika perubahan gaya arsitektur itu dilakukan pada kantor utama milik sang kepala daerah sebagai pusat utama pemerintahan tertinggi di Riau yang belakangan ini menjadi polemik ditengah masyarakat. Lantas mereka pun bertanya, “apa hubungan Riau dengan gaya arsitektural negara luar yang terlihat dari bangunan-bangunan yang ada di Kota Pekanbaru?” dengan kondisi ini juga meberikan kesan secara tidak langsung tanpa disadari ini merupakan pemutusan mata rantai sejarah arsitektural asli Riau secara perlahan-lahan.
Jadi jangan heran jika suatu saat nanti orang beranggapan setiap kali datang ke Kota Pekanbaru sebagai pusat pemerintahan Propinsi Riau serasa menginjakan kakinya dinegeri eropa atau Timur Tengah atau bahkan serasa di Amerika yang terkenal dengan gedung putih (white house) kediaman milik Presiden Amerika Serikat di Washington, DC yang ada kubah-kubah putih diatas gedungnya. Karena orang menganggap arsitektural Riau mirip alias sama dengan yang diluar sana. Kalau lah sudah mirip tentunya tidak ada kesan yang mengena dihati para pendatang  mengenai Riau. Padahal perbedaan yang kental dan menonjol yang dimiliki setiap Kota/Propinsi di seluruh negara di belahan bumi ini seharusnya yang menjadi sebuah kebanggan, karena Kota/Propinsi ini berani menunjukan karakter jati dirinya yang berasal dari unsur budaya lokal asli tempatan.

Patut menangis sembari bersedih hati  mungkin adalah ekspresi yang jelas tergambar dari raup wajah mereka almarhum nenek moyang kita, orang tua kita sebagai pejuang, pencipta budaya-budaya melayu Riau yang  bersusah payah, bergelut dengan waktu berpuluh-puluh tahun memikirkan, menciptakan  memadukan budaya asli melayu Riau dengan nilai-nilai kesejarahan yang sesuai dengan kepribadian suku melayu, agama, adat istiadat, nilai-nilai kearifan lokal sebagai identitas yang kelak akan diwariskan kepada generasi mendatang.  
Padahal gedung-gedung canggih yang merupakan produk riset para ilmuwan dibidang rekayasa arsitektural moderen zaman sekarang sejatinya sebuah karya monumental yang sekilas sangat mengaggumkan namun sebenarnya mereka adalah gedung-gedung kosong yang tidak bermarwah, tidak berbudaya, tidak beridentitas akibat tidak diketahuinya sejarah masalalu peradaban arsitektur nenek moyangnya.

Limited itu yang Tidak Ternilai Harganya

Mungkin Negara seperti Singapura boleh bangga dengan gedung Marina Bay Sand nya yang melintang bak sebuah kapal yang ditopang oleh tiga gedung super dibawahnya ibarat kapal diatas langit. Tapi sadarkah kita, singapura sebenarnya negara yang maju korban pengadopsi unsur arsitektural modrenisai berbasis teknologi tinggi yang mengusung konsep kota hijau (city in a garden) hingga semua mata dunia seakan dibuat buta dengan mahakarya agung arsitektural modern mereka. Dan semua orang banyak yang berharap bisa datang, tinggal dan hidup disana.
Tapi kita tidak pernah berfikir kalau sejatinya mereka adalah negara yang (maaf) sangat miskin dan  yatim piatu. Mengingat mereka seperti orang yang tidak tahu asal-usul asli dirinya, siapa jati diri asli bangsanya, siapa nenek moyang asli bangsanya? Masih adakah jejak peninggalan dari nenek moyangnya dalam bentuk budaya seperti arsitektural peninggalan nenek moyang suku mereka yang dijaga dan diwariskan secara turun menurun oleh generasi mereka?? Justru yang ada hanya bangunan-bangunan, gedung-gedung canggih yang dirancang dan didesain oleh para ilmuan arsitektur abad dua puluh satu saat ini.

Melihat fenomena yang terjadi di negara tersebut, rasanya kita patut bersyukur dan seharusya bangga dengan apa yang kita miliki saat ini. Kita diwarisi karya arsitektural budaya asli milik suku melayu kita. Dan yang lebih penting lagi kita bukan termasuk kedalam golongan (maaf) Yatim piatu yang tidak tahu siapa orang tuanya, nenek moyangnya sejak lahir sehingga wajar saja seperti Negara Singapura tidak tahu bagaimana kebudayaan warisan nenek moyangnya? Mereka seperti kehilangan jati diri bangsanya sediri.
Sementara kita di Riau sudah sepatutnya bersyukur hingga detik ini masih ada budaya dan kebudayaan melayu Riau yang masih terjaga meskipun terseok-seok penjagaanya akibat derasnya gempuran budaya asing ditambah lagi dengan semakin tingginya keheterogenan suku di Kota Pekanbaru. Jikalah sudah demikian, seharusnya kita seluruh stakeholder baik Pemerintah, masyarakat, Tokoh Lembaga Adat, akademisi, praktisi, swasta, bersama-sama, berjuang,  bahu membahu turut serta menumbuhkan rasa kecintaan dan rasa memiliki terhadap warisan kebudayaan melayu itu sendiri. salah satu caranya bisa dengan mengaplikasikan gaya arsitektur bangunan warisan nenek moyang melayu kita dengan konsep-konsep bangunan moderen masa kini, sehingga semoderen apa pun zaman.  wajah kota kita kedepan tetap memiliki kepribadian dan jati diri yang kuat yang tetap melekat erat sebagai identitas asli Riau.
Jangan pula kita lebih tertarik oleh hasil budaya dan karya dari negara orang diluar sana. Jika kita lebih cinta dan terpesona akan kecantikan arsitektur luar tentu kita patut mempertanyakan dimana asal muasal kita sebagai orang melayu yang menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal milik kita sendiri? terlebih bagi sang kepala daerah itu sendiri yang terkadang justru malah menjadi dalang utama dibalik rusaknya jati diri suatu Kota/Propinsi dengan kebijakan-kebijakan pribadinya saja.

Mungkin kedepan kita perlu belajar mengadopsi filosofi dari seorang kolektor barang antik. Mereka tidak pernah memikirkan seberapa besar harus mengeluarkan uang atau materi untuk memperoleh sebuah hasil karya atau peninggalan kebudayaan nenek moyang yang menurut dirinya sangat begitu berharga dan tidak akan mungkin bisa diciptakan lagi dizaman sekarang, karena dia tahu ini akan terbatas dan wajar saja para kolektor tidak akan pernah bisa menilai atau mengukur hasil warisan kebudayaan dengan materi yang banyak sekalipun karena barang antik merupakan sesuatu yang tak ternilai harganya.
Perencanaan Harus bersifat Buttom up bukan Top Down saja.

Mungkin kita harusnya belajar dari permasalahan dimasa lalu dan jangan sampai terulang kembali dimasa yang akan datang. Seperti kasus ketidak setujuannya masyarakat, Tokoh Lembaga Adat, Akademisi, Praktisi terhadap kebijakan pembangunan tugu bahenolnya (plesetan nama tugu titik NOL) pada masa kepemimpinan Gubernur Ruzli Zainal yang terletak dibundaran depan alun-alun Gubernuran. Alih-alih ingin mengekspresikan dua orang penari zapin Riau dalam bentuk patung namun pada akhirnya banyak menuai kritik dan protes. Hal ini dirasa sangat wajar, artinya Pemerintah dianggap gagal melakukan pendekatan dalam kaidah perencanaan sebenarnya yang hanya  mengakomodir kemauan pemerintah saja (Top Down Planning) sehingga terkesan arogan tanpa mau mengakomodir pendapat, partisipasi dari masyarakat, Tokoh Lembaga Adat, Akademisi, Praktisi. Akibat adanya ketidak cocokan antara nilai-nilai yang ter-ekspresikan dari karya patung tersebut yang kurang memuatkan unsur, nilai-nilai agama, kearifan lokal dalam khasanah budaya Riau.

Kedepan apapun kebijakan perencanaan pembangunan sudah semestinya mengadopsi prinsip perencanaan berbasis partisipasif (Buttom up Planning) karena sejatinya perencanaan sudah seharusnya menganut konsep berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat pula. Dan bukan untuk kepentingan perorangan semata. Sudah sepatutnya kita lebih bangga dengan hasil karya budaya arsitektural buatan nenek moyang kita yang tidak dimiliki oleh Kota/Propinsi/Negara mana pun di dunia ini dengan menjadikannya sebagai identitas jati diri Kota kita. Kebanggaan kita terhadap hasil karya orang diluar sana justru hanya akan menjadikan awal kehancuran dan penyebab hilangnya identitas asli budaya kita sendiri.

Filosofi melayu “Dimana bumi dipijak disitulah langit dijunjung, tak-kan hilang melayu di bumi”  sudah sepatutnya kita junjung tinggi sebagai konsep dasar berfir dalam melakukan perencanaan terlebih lagi perencanaan yang mengandung unsur nilai-nilai kearifan lokal.
dengan demikian harapan kita semua, Riau kedepan akan menjadi Riau yang beridentitas  identitas yang jelas yang tercermin dari ragam arsitektural asli milik kita sendiri sehingga Riau akan menjadi negeri yang berjati diri dan bermarwah melayu melalui wajah kotanya.

Sabtu, 12 April 2014

Air Minum isi ulang ala warga Kota, sudah amankah??



Air Minum isi ulang ala warga Kota, sudah amankah??

Merebaknya usaha depot-depot pengisian air minum isi ulang di hampir setiap Kabupaten dan Kota belakangan ini cukup menarik perhatian kita bersama. Terlebih lagi di Kota Pekanbaru sendiri, sehingga bukan perkara yang sulit lagi untuk menemukan depot-depot pengisian air galon di Kota bertuah ini, Hampir disetiap tempat kita dengan mudah menemukannya. Terlebih lagi pada kawasan-kawasan disekitar kampus dan kawasan disekitar permukiman penduduk.

 Tentunya kita terkadang sempat bertanya-tanya. “Sebegitu gampangkah memperoleh izin dari Dinas terkait untuk membuka usaha isi ulang air minum galon?, bagaimana pula standar teknis usaha tersebut bisa dikatakan layak operasional dilapangan sehingga memperoleh izin? Lantas seberapa rutinkah pemantauan Dinas terkait dalam memantau usaha ini dilapangan?”.

Pertanyaan-pertanyaan diatas tentunya terkadang menjadi bahan pertanyaan masyarakat dilapangan. Mana kala menemui kualitas air minum yang dibeli masih terdapat beberapa standar umum air minum yang tidak layak konsumsi. Seperti adanya air minum yang berbau tanah, dan berbau kandungan zat-zat lain, meskipun dari segi kualitas warna tampak memenuhi standar namun kondisi seperti itu sudah layak kah diberikan izin?? Heheehe,,, entah lah hanya Tuhan yang tahu.

Berdasarkan kondisi dilapangan terkadang sebagai masyarakat kita menggeleng-gelengkan kepala sambil terheran-heran sendiri. mana kala terkaget-kaget melihat beberapa depot pengisian air minum isi ulang yang ditemui menggunakan alat-alat yang terkesan kurang menjamin standar, kualitas dari sebuah depot pengisian air minum. seperti penggunaan tong penampungan air sumur bor berwarna orange yang sering digunakan untuk  penampung air dirumah-rumah masyarakat pada umumnya, penggunaan selang yang digunakan untuk menyalurkan air langsung kedalam galon,  belum lagi ada beberapa oknum pelaku usaha pengisi air minum yang mencoba mengakal-akali alias menipu konsumen dengan bermodalkan lemari kaca alumunium dan dilengkapi penerangan berupa lampu biru. Alih-alih dengan tujuan memberikan kesan air yang dihasilakan melewati proses ultraviolet. Sehingga air yang dihasilkan dianggap sudah melewati proses yang ketat bak air minum yang berstadar tinggi ala perusahaan air minum mineral pada umumnya.

Tapi apakah benar semua pemilik izin usaha depot isi ulang air minum ini menggunakan alat ultraviolet?? yang “katanya” digunakan untuk membenuh bakteri dan kuman yang terkandung didalam air. Namun pada realitanya dilapangan banyak juga para pemilik yang mengakal-ngakalinya dengan menggunakan alat ultraviolet abal-abal alias palsu. Bermodal lampu biru yang ditempatkan didalam lemari kaca sudah dianggap “sebelas dua belas deh.. dengan ultraviolet yang asli”.
Jika sudah demikian kondisinya. Lantas, bagaimana pula surat izin edar air minum yang dikeluarkan Dinas terkait itu bisa dikeluarkan begitu saja dan terpampang disetiap dinding para pemilik depot air isi ulang??
Maraknya usaha depot isi ulang air minum sampai hari ini terkesan jauh dari pengawasan yang ketat oleh dinas yang terkait dan seakan dengan gampangnya mengeluarkan izin begitu saja.
Padahal jika kita mengacu dan mengikuti secara baik dan benar peraturan yang dikeluarkan berdasarkan keputusan menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/xi/2002 tentang persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan industri. Terdapat beberapa Parameter kualitas air bersih yang ditetapkan dalam PERMENKES 416/1990 yang terdiri atas persyaratan fisik, persyaratan kimiawi, persyaratan mikrobiologis diantaranya sebagai berikut:
1.       Persyaratan fisik: Persyaratan fisik yang harus dipenuhi pada air minum yaitu harus jernih, tidak berbau, tidak berasa dan tidak berwarna.
2.       Persyaratan kimia: Dari aspek kimiawi, bahan air minum tidak boleh mengandung partikel serta logam berat (misalnya Hg, Ni, Pb, Zn, dan Ag) atau pun zat beracun seperti senyawa hidrokarbon dan detergen. Ion logam dapat dapat mengendap dan tertimbun diberbagai organ terutama salurAn cerna hati, dan ginjal maka organ-organ inilah yang terutama rusak.
3.       Persyaratan Mikrobiologis: Nakteri patogen yang tercantum dalam kepmenkes yaitu Escherichia colli, Clostridium perfringens, salmonella,

Dari beberapa kriteria yang dijelaskan diatas, begitu sangat berbahanya dampak yang bisa ditimbulkan dari air minum isi ulang jika air yang beredar dan dikonsumsi oleh masyarakat. terutama kandungan yang terdapat didalam air minum tersebut yang mengandung ion-ion logam yang dijelaskan dapat merusak fungsi vital organ-organ didalam tubuh kita. Mungkin dampak yang bisa dilihat dalam jangka pendek bagi masyarakat yang mengkonsumsinya belum bisa terlihat, namun dampaknya dalam jangka panjang lambat laun pasti akan dirasakan bagi masyarakat pengkonsumsi air tersebut.
Dan permasalahan ini sungguh sangat mengkhawatirkan, terkesan luput dari perhatian kita bersama terlebih mengenai pengawasan standar baku mutu air minum layak konsumsi yang masih belum diketahui secara baik dan benar oleh masyarakat kita secara menyeluruh terutama bagi para pemilik depot pengisian air minum tersebut. seakan air minum yang layak dikonsumsi oleh masyarakat bisa dengan gampangnya diperoleh dengan hanya bermodalkan  sumur bor.

Fenomena ini secara tidak  langsung merupakan bagian dari dampak adanya tuntutan hidup sebagai warga kota yang menuntut warganya untuk memperoleh sesuatu dengan cara yang serba instan namun kondisinya tidak pernah kita sadari mengingat kecendrungan warga kota yang hari-harinya selalu dikejar-kejar oleh waktu. Bahkan hari-harinya terkadang habis tercurahkan hanya untuk bekerja dan bekerja. Lantas persoalan air minum ini pun, bagi sebagian warga kota pun tidak menjadi suatu hal yang dianggap penting dan juga serius.     
Terlebih lagi, keterkaitan antara air dan manusia dalam hidup sejatinya merupakan dua hal yang tidak bisa terpisahkan. Sehingga wajar saja terkadang tidak jarang kita menemui slogan “air sumber kehidupan”. Artinya air sangat berperan penting dalam menunjang keberlangsungan hidup seluruh makhluk hidup terlebih lagi bagi manusia.
Sehingga dalam disiplin ilmu yang berkaitan dengan perencanaan wilayah dan kota (urban and regional planning) menempatkan air sebagai utilitas/kebutuhan dasar manusia. Karena air merupakan kebutuhan yang vital bagi hidup manusia.

Faktor-faktor tersebut yang dianggap sebagai peluang bagi sebagian kalangan untuk melirik usaha penjualan air minum galon isi ulang. Sehingga peluang usaha depot pengisian air minum galon saat ini bagi sebagian orang  adalah usaha yang menjanjikan terlebih konsumsennya adalah masyarakat yang hidup diperkotaan. Karena hanya bermodalkan air saja yang diperoleh dari sumur bor, untung-untung air yang dijual terlebih dahulu melewati tahapan ultraviolet dan ditambah sedikit campuran zat-zat kimia sehingga air dianggap sudah melewati tahapan standarisasi air minum layak konsumsi. Tapi, apakah semua depot pengisian air minum tersebut menerapkan standarisasi yang sama?? Jika tidak, tentunya hal ini sangat membahayakan bukan bagi kesehatan masyarakat diluar sana??

Jika sudah demikan, siapakah pihak-pihak yang berwenang untuk melakukan peninjauan dan menegur sampai dengan memberikan sanksi terhadap para pemilik usaha depot air minum ilegal dan non ilegal yang tidak menerapkan standarisasi resmi didalam proses operasioanalnya sehari-hari??  tentunya Dinas yang mengeluarkan izin, Dinas Kesehatan masing-masing  Kabupaten dan Kota itu sendiri yang seharusnya berada digarda terdepan untuk mengatur dan mengawasinya. Jangan pula setelah izin diberikan meskipun telah dilakukan peninjauan dilapangan namun pada proses pengawasannya  terkadang terkesan jarang dilakukan.
Kondisi ini tentunya sangat membahayakan bagi kesehatan kalangan masyarakat yang tidak tahu sebagai konsumen mengenai dampak yang ditimbulkannya dikemudian hari. Lantas dimana pula tanggung jawab mereka para dinas terkait yang memiliki tugas dibidang tersebut??
Mungkin kita sependapat  dan benar-benar menghormati, menghargai cara-cara tradisional orang-orang tua kita dahulu yang hanya tahu, kalau air minum itu yang sehat ya harus dimasak terleb dahulu.  Enggak seperti sekarang ini, meskipun zaman terus maju namun ada-ada saja celah yang digunakan untuk mengakal-ngakali proses standarisasi air minum isi ulang ini. Terkadang antara teori dan praktek seperti bertolak belakang. dimana ada uang semua perkara akan gampang, lantas jaminan kesehatan masyarakat sebagai konsumen pun akan melayang??
Masyarakat sebagai konsumen air minum galon isi ulang seperti membeli sedikit demi sedikit piln racun untuk membunuh dirinya sendiri tanpa pernah disadari. masyarakat awam diperkotaan mungkin juga hanya bisa berkata “kita sudah pasrah lah pada Tuhan” hehehee