Hiruk pikuk perkembangan kota kita dewasa ini terkesan
sungguh sangat mengkhawatirkan. Ditengah derasnya gempuran, hantaman seni, kebudayaan
negeri luar yang terus mewabah, menjamur begitu sangat cepat tersampaikan
melalui canggihnya teknologi informasi dewasa ini. Dan yang sangat
dikhawatirkan yaitu, hampir sebagian besar para remaja bahkan orang tua saat
ini justru jauh lebih mengenal dan mengikuti trend film korea, boyband korea, girlband korea, music korea, tarian korea dan yang tak kalah
hebohnya saat ini yaitu gamnam style-nya
milik korea.
Tapi tenang dulu, saya bukan mau membahas tentang wabah koreamania lebih jauh. Saya hanya
sepintas saja menggambarkan kondisi hari ini yang terjadi dan sayangnya kita
tidak menyadarinya.
Saya khwatir generasi remaja mendatang yang diharapkan
menjadi tumpuan penerus kebudayaan generasi selanjutnya bakalan kebablasan alias lali atau lupa diri (dalam bahasa jawa) sehingga mengakibatkan
hilangnya jati diri kebudayaan lokalnya sendiri dan justru malah lebih mengenal
kebudayaan negeri orang dibandingkan negeri sendiri.
Alamat lah sudah pak cik, warisan kebudayaan kita kedepan hanya akan
menjadi catatan rapi yang tersimpan di rak lemari dan menjadi saksi sejarah dan
tak bisa dinikmati oleh anak cucu kita dimasa yang akan datang.
Serupa Tapi Tidak Sama
Permasalahannya serupa tapi tidak sama. Hal itu lah yang
juga terjadi pada perkembangan situasi wajah Kota Pekanbaru saat ini. Berbicara
wajah kota tentunya sangat erat keterkaitannya dengan arsitektural kota itu
sendiri siapa dan bagaimana masyarakatnya. Jauh-jauh hari Prof. Eko budihardjo
bercerita dalam bukunya yang berjudul Tata Ruang Perkotaan (1997) menyebut “kota
seperti halnya arsitektural, sering disebut sebagai cerminan budaya
masyarakatnya”
Lantas bagaimana dengan cerminan budaya masyarakat kota
pekanbaru dalam memberi sentuhan terhadap arsitektural wajah kotanya?
Belakangan mulai bermuculan bangunan-bangunan, gedung-gedung
bergaya ala arsitektural modern yang di adopsi dari negeri luar bukan negeri
sendiri, sementara itu masyarakat kota kita sendiri hanya cuek dan tidak mau tahu lantak
lah situ (bahasa minang). itulah potret cerminan budaya masyarakat kita
saat ini.
Fenomena pengadopsian bangunan berarsitektur modern di
Kota Bertuah sangat memperihatinkan tanpa sedikit pun menyematkan unsur ciri
khas kemelayuan. Gebrakan secara besar-besaran sebagai tanda cikal bakal diawali
bangunan modern di Kota Bertuah ini yaitu dengan dibangunannya gedung Gubernuran, Perpustakaan Soeman Hs, disusul
dengan dibangunannya gedung milik Awal Bros yang baru, Hotel Priemer, Bank Riau
Kepri dengan sosok full glass-nya,
Star City, Hotel Grand Central dan yang terakhir bangunan milik the peak hotel
yang sebentar lagi diprediksi bakalan membahana semakin menambah semaraknya
persaingan gedung-gedung pencakar langit di Kota bertuah bak kota Jakarta.
Ketinggian bangunannya pun beragam, dimulai dari jenis
gedung yang memiliki 18 lantai sampai dengan yang baru-baru ini mencapai 28
lantai milik the peak hotel. Untuk
saat ini, Rekor bangunan dengan jumlah lantai tertinggi dipegang oleh “bung” the peak hotel dan tidak menutup
kemungkinan kedepan akan ada lagi bangunan-bangunan pengusaha milik si X, Y, Z
yang memiliki jumlah lantai lebih dari 28 lantai.
Paradigma sesat yang berkembang difikiran masyarakat yang
menganggap “Bangunan modern itu lebih mencerminkan kemajuan” saya rasa adalah
sebuah bentuk awal kehilangan jati diri kota
dan perlahan-lahan akan membunuh
kebudayaan kita sendiri. sehingga kita akan tumbuh menjadi kota yang tidak
beridentititas.
Dan sebaliknya, bangunan yang berartsitekturalkan nilai-nilai nuasa lokal justru dipandang sangat
kuno, ndeso sehingga WAJIB dan HALAL untuk diganti dengan yang baru bukan justru
di lakukan konservasi. Sungguh tragis bukan negeri ini!
Hingga saya terkadang berfikir dan membuat anekdot “apakah
ini semua akibat faktor pemberian nama kota pekanbaharu yang setiap pekan
selalu baru!?, sehingga negeri ini justru suka mengadopsi yang baru-baru?” terkesan
seolah-olah pemangku kebijakan di negeri antah barantah ini suka yang
baru-baru. hahaaha,,,mudah-mudahan tidak.
Itu bukan isapan jempol belaka, lagi-lagi Prof. Eko
Budiharjo bercerita dalam bukunya “Kota
Berwawasan Lingkungan” (1993) menyebutkan “wajah kota besar kita sekarang
cenderung lebih banyak ditentukan oleh para penentu kebijakan perkotaan yang
dikenal dengan the big boy, begitu dominannya peran pengelola
kota”
Tidak sampai disitu saja, wabah modernisasi ala
globalisasi juga merambah kepada pemberian nama-nama bangunan, gedung di Kota
Pekanbaru. Mereka semua seakan berlomba-lomba menggunakan nama-nama modern dan
terkesan canggih seperti the peak hotel, Star City, Grand Central Hotel.
Lantas apakah yang berbau dengan nuansa lokal harus
ditinggalkan? Dan dianggap tidak bernilai, tidak memiliki gengsi dan terkesan
ndeso? Saya rasa justru itu semua sebuah kepatalan persepsi yang terlanjur
berkembang difikiran masyarakat dan perlu diluruskan di era modernisasi.
Bangunan-bangunan yang ber-arsitekturalkan nuansa lokal
justru jauh lebih berharga dan tidak ternilai harganya dibandingkan dengan
bangunan-bangunan ber-arsitekturalkan modern saat ini. Sebuah kebudayaan
merupakan hasil cipta, karsa, rasa manusia yang diturunkan secara turun menurun
dan diwariskan oleh nenek moyang kita dan sekali lagi ini tidak bisa dinilai
dengan apa pun.
Jika ditelusuri bangunan dengan arsitektural modern
sungguh sangat membingungkan, dan jauh lebih sesat. bangunan yang tidak jelas
asal-usul-nya, sukar dipahami maksud dari arsitekturnya. semua hanya hasil permintaan
si bos (pengusaha, penguasa) dan
hasil rekayasa para arsitektural jenius gedung masa kini yang hanya didesain dan dikerjakan dalam kurun waktu singkat.
Sedangkan arsitektural yang bernuansa lokal jauh lebih memiliki makna yang
mendalam sehingga yang membuat mahal terkadang adalah history-nya.
Keterlibatan para perekayasa bangunan yang dinilai sangat
berperan dalam membawa perubahan wajah kota. Suatu ketika pernah saya
pertanyakan hal ini dalam sebuah seminar yang di taja oleh teman-teman Teknik
Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Riau (3/11) dengan tema
“perencanaan kota humanis”.
Pada saat itu, hadir sebagai pembicara perwakilan dari
IkatanNasioanal Konsultan Indonesia (INKINDO) Riau, yaitu Bapak Ir. HR. Firdaus
Atan Msi. Dalam kesempatan diskusi itu, saya mengajukan pertanyaan kepada
beliau “Bagaimana INKINDO sendiri mengarahkan para para perekayasa bagunan dan
gedung-gedung yang di naunginya agar memiliki pola fikir cinta terhadap
arsitektur Melayu? Sehingga para pengusaha yang berniat mendirikan bangunan
menyadari keberadaanya yang harus menjunjung tinggi dan berpartisipasi juga dalam
mempromosikan nilai-nilai kearifan lokal melalui arsitektur bangunan Melayu-nya?
Dalam tanya jawab tersebut, saya memperoleh jawaban yang
sekiranya menurut saya begitu sangat mengecewakan sekali dan terkesan pesimis
dan mereka tidak berbuat apa-apa. Beliau berkata “kita sama dengan pemerintah,
tidak ada wewenang tegas mengenai hal itu, semua ditangan pemerintah”
Melihat kondisi yang demikian, saya pun berkesimpulan kita
butuh kesinergisan antara 4P yaitu (Pemerintah, Perekayasa, Pengusaha, Penggiat
Budaya). selama ini empat stakeholder tersebut terkesan berjalan
sendiri-sendiri dan tidak memiliki pandangan dan tujuan yang sama.
Tugas kita semua kedepan yaitu, perlu menyatukan 4P
tersebut guna menyamakan pola fikir yang
sama untuk mewujudkan wajah kota yang bernuansa Melayu sebagaimana yang di
tuangkan dalam Visi dan Misi Propinsi Riau dan Kota Pekanbaru pada 2020 dan
2021.
Tidak
Menyadari
Lantas pertanyaanya, apa yang terjadi sebenarnya di
negeri antah barantah ini? Orang luar saja berbondong-bondong ingin mengunjungi
peninggalan kebudayaan kita, lantas kita dengan bodohnya (maaf) membiarkan
warisan kebudayaan kita sendiri baik itu berupa benda, bangunan, kebudayaan
hilang dan dimusnahkan begitu saja.
Begitu rindu dan sangat ingin tahu-nya mereka, karena di
negerinya sudah bosan melihat bangunan-bangunan yang megah, modern, canggih dan
tidak memiliki historycal sehingga terkadang
mereka berduyun-duyun melancong ke negeri kita tercinta yang terbilang surganya
sejarah kebudayaan masal lalu.
Tidak jarang bahkan mereka menginginkan kebudayaan kita
dengan mencaplok kebudayaan asli kita kemudian di adopsi diberikan cap sebagai
objek kebudayaan mereka. Dan setelah di caplok lagi-lagi baru kita sibuk kelabakan bak kebakaran jenggot bersama-sama
memprotesnya. Hmm... entahalah...
Bukan
Tidak Bisa
Terkadang saya bertanya-tanya pada diri saya sendiri
ketika melintasi kawasan disepanjang Jalan Jendral Sudirman dengan
memperhatikan dan membandingkan antara bangunan-bangunan milik pemerintah
seperti bangunan milik Dinas Perhubungan Propinsi Riau, Dinas Kehutanan
Propinsi Riau dengan bangunan-bangunan milik pengusaha. Timbul pertanyaan,
“mengapa ya, bangunan pemerintah dengan tampilan beton sekalipun tetap bisa memadukan
unsur kemalayuannya melalui ukiran kuning dan selembayung diatapnya??
Setahu saya, sudah ada peraturan yang mengatur itu di
Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Pekanbaru, namun lagi-lagi realisasi dan
kontrolisasi serta sanksi dilapangan terhitung masih begitu lemah dan loyo.
Tidak ada arahan dan sanksi yang jelas sampai detik ini yang bisa menjadi
pembuktian bahwasannya pemangku kebijakan hari ini benar-benar menjadi garda
terdepan didalam membantu mngusung Visi dan Misi Propinsi Riau dan Kota
Pekanbaru.
Apresiasi yang begitu tinggi sudah sepatutnya kita
berikan kepada pemilik Sudirman City
Square yang telah berani dan secara sadar mau berpartisipasi mengadopsi
pribahasa “dimana langit dipijak disitu langit dijunjung” yaitu mendirikan
bangunan dengan konsep modern namun tidak melupakan unsur jati diri kearifan
lokal secara halus dan indah. Pengonsep arsitektural kawasan perbelanjaan
tersebut saya nilai telah berhasil memadukan dua nuansa yang berbeda antara
arsitektur modern dengan arsitektur klasik Melayu. dan itu patut diapresiasi
dengan kebijakan lebih jauh lagi seperti pemberian reward (penghargaan) seperti keringanan pajak sehingga memicu
keinginan siapapun baik pengusaha dan pribadi untuk bersama-sama mendukung
program pemerintah. dan sebaliknya bagi yang membandel dan enggan mengikuti
aturan yang telah ditentukan tentunya wajib di berikan punisment (sanksi/ hukuman) seperti berupa pemberatan pajak dan
sebagainya.
Dengan begitu unsur-unsur kemelayuan yang tercermin
melalui wajah kota bisa langsung dirasakan. Harapannya yaitu akan memberikan
kesan yang berbeda dan menyentuh dihati para pendatang yang menginjakan kakinya
di Bumi Melayu baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri sehingga
mereka dengan mudah mengenali dan dengan gampangnya mengingat sebuah kota
dengan beragam elemen yang membantu membangun citra kota salah satunya yaitu
seperti land mark atau penanda sebuah
kota lain yang benar-benar memiliki sangkut paut dengan kesejarahan suatu kota.
Visi dan Misi Pekanbaru, Riau Bisa
Jadi Mitos
Jangan bermimpi jika hari ini tidak berbuat apa-apa menuju kesana. Cerminan
kondisi hari ini sungguh berlawanan dan bersikutan dengan visi dan misi yang
dicanangkan Propinsi Riau dan Kota Pekanbaru pada 2020 dan 2021.
Harapan dan cita-cita mulia untuk menjadikan Propinsi Riau dan kota
Pekanbaru sebagai pusat kebudayaan melayu Riau di asia tenggara yang tercantum di RTRW Propinsi Riau dan RTRW
Kota Pekanbaru tampaknya akan sulit terwujud bak mitos saja.
Bagaimana tidak, waktu yang tersisa hanya tinggal delapan tahun kedepan,
Jangankan pemahaman kebudayaan Melayu di
masyarakat yang belum sepenuhnya dimengerti, bangunan-bangunan yang menjadi
saksi sejarah peradaban Melayu pun perlahan-lahan saat ini turut dimusnahkan
alias hilang.
Saya ingat dengan kata-kata bijak milik orang tua dahulu “apa yang terjadi
hari ini adalah buah dari hasil perbuatan orang terdahulu kita dan apa yang
terjadi dimasa yang akan datang adalah buah perbuatan kita disaat ini”
Sebuah pertanyaan besar mucul, sudah kah kita berbuat banyak untuk
menggapai visi dan misi kita tersebut?? bangunan-bangunan beraksitekturalkan
melayu yang menjadi saksi peradaban sejarah melayu saat ini kondisinya sungguh
sangat menyedihkan. Dang Merdu pun telah hilang tinggal lah nama yang hanya
bisa dikenang. Akibat digusur dan diganti dengan bangunan yang baru tanpa
adanya rasa berdosa kepada neneng moyang mereka sendiri terlebih kepada para
anak cucu mereka dimasa yang akan datang.
mewujudkan pusat kebudayaan melayu dengan kondisi seperti saat ini sungguh
sangat menyesakkan. Terlebih jika dua visi tersebut harus di emban dan di pikul
oleh penggiat kebudayaan Melayu Riau saja tanpa mengikutsertakan seluruh
stakeholder di bumi Melayu ini.
Kesan beban yang dipikul oleh lembaga adat Melayu (LAM) tersebut kian
tampak jelas, kesan itu saya tangkap saat saya membaca dimedia cetak Riau Pos
(4/11) beberapa waktu lalu, terkesan permerintah hanya melepas tangan saja
setelah mengumandangkan Visi dan Misi Riau beberapa tahun silam. Dalam petikan pembicaraan
yang saya coba catut dari media cetak tersebut Pak Al azhar selaku pengurus
harian LAM hingga harus mengingatkan kepada pembuat kebijakan negeri ini,
sebaiknya melibatkan banyak pihak, terutama pemerhati kebudayaan untuk
pengembangan yang lama agar tidak salah langkah.
Sementara itu Ketua LKA LAM Riau Tenas Efendy juga menghimbau “jangan
acuhkan kebudayaan kita sendiri dan teruslah mempertahankan dan banggalah
karenanya”
Dari kesemua pesan yang di ungkapkan para penggiat kebudayaan diatas jelas
mengisyaratkan kita semua selaku komponen penentu tercapainya Visi dan Misi
sudah sepatutnya bersama-sama bersinergi bahu-membahu menjaga, mempertahankan, menerapkan
kebudayaan Melayu itu sendiri baik dalam bentuk benda maupun seni atau pun
kebudayaan.
Sudah sepatutnya pula nsaat ini pemangku kebijakan mulai berbenah diri dan
mengintropeksi diri untuk lebih mensinergikan konsep pengambilan kebijakan
dengan melibatkan seluruh stakeholder terkait didalamnya seperti Akademisi yang
bergerak dibidang Perencanaan wilayah dan kota dan lembaga-lembaga maupun LSM
yang bergerak dibidang kebudayaan Riau.
Terakhir saya akan mencoba mengutip pepatah dari Chairil Ghibran Ramadhan
yang saya catut dari sebuah media surat kabar Riau Pos (28/10) yang disampaikan
oleh beliau disela kunjungannya beberapa waktu lalu di Riau, Agar kita
senantiasa lebih sadar, lebih mencintai dan menjaga kebudayaan kita baik itu
benda maupun non benda agar menjadi sejarah peradapan nenek moyang kita.
“jangan salahkan jika hal itu terjadi, karena penjaga dari semua itu
sesungguhnya adalah para orang dalam yang terlahir, tumbuh dan berkembang dalam
aroma daerahnya”