Laman

Senin, 26 November 2012

Wajah Kota Versi Visi Misi (VS) Wajah Kota Versi Modernisasi




Hiruk pikuk perkembangan kota kita dewasa ini terkesan sungguh sangat mengkhawatirkan. Ditengah derasnya gempuran, hantaman seni, kebudayaan negeri luar yang terus mewabah, menjamur begitu sangat cepat tersampaikan melalui canggihnya teknologi informasi dewasa ini. Dan yang sangat dikhawatirkan yaitu, hampir sebagian besar para remaja bahkan orang tua saat ini justru jauh lebih mengenal dan mengikuti trend film korea, boyband korea, girlband korea, music korea, tarian korea dan yang tak kalah hebohnya saat ini yaitu gamnam style-nya milik korea.
Tapi tenang dulu, saya bukan mau membahas tentang wabah koreamania lebih jauh. Saya hanya sepintas saja menggambarkan kondisi hari ini yang terjadi dan sayangnya kita tidak menyadarinya.
Saya khwatir generasi remaja mendatang yang diharapkan menjadi tumpuan penerus kebudayaan generasi selanjutnya bakalan kebablasan alias lali atau lupa diri (dalam bahasa jawa) sehingga mengakibatkan hilangnya jati diri kebudayaan lokalnya sendiri dan justru malah lebih mengenal kebudayaan negeri orang dibandingkan negeri sendiri.
Alamat lah sudah pak cik, warisan kebudayaan kita kedepan hanya akan menjadi catatan rapi yang tersimpan di rak lemari dan menjadi saksi sejarah dan tak bisa dinikmati oleh anak cucu kita dimasa yang akan datang.

Serupa Tapi Tidak Sama
Permasalahannya serupa tapi tidak sama. Hal itu lah yang juga terjadi pada perkembangan situasi wajah Kota Pekanbaru saat ini. Berbicara wajah kota tentunya sangat erat keterkaitannya dengan arsitektural kota itu sendiri siapa dan bagaimana masyarakatnya. Jauh-jauh hari Prof. Eko budihardjo bercerita dalam bukunya yang berjudul Tata Ruang Perkotaan (1997) menyebut “kota seperti halnya arsitektural, sering disebut sebagai cerminan budaya masyarakatnya”
Lantas bagaimana dengan cerminan budaya masyarakat kota pekanbaru dalam memberi sentuhan terhadap arsitektural wajah kotanya?
Belakangan mulai bermuculan bangunan-bangunan, gedung-gedung bergaya ala arsitektural modern yang di adopsi dari negeri luar bukan negeri sendiri, sementara itu masyarakat kota kita sendiri hanya cuek dan tidak mau tahu lantak lah situ (bahasa minang). itulah potret cerminan budaya masyarakat kita saat ini.

Fenomena pengadopsian bangunan berarsitektur modern di Kota Bertuah sangat memperihatinkan tanpa sedikit pun menyematkan unsur ciri khas kemelayuan. Gebrakan secara besar-besaran sebagai tanda cikal bakal diawali bangunan modern di Kota Bertuah ini yaitu dengan dibangunannya gedung  Gubernuran, Perpustakaan Soeman Hs, disusul dengan dibangunannya gedung milik Awal Bros yang baru, Hotel Priemer, Bank Riau Kepri dengan sosok full glass-nya, Star City, Hotel Grand Central dan yang terakhir bangunan milik the peak hotel yang sebentar lagi diprediksi bakalan membahana semakin menambah semaraknya persaingan gedung-gedung pencakar langit di Kota bertuah bak kota Jakarta.

Ketinggian bangunannya pun beragam, dimulai dari jenis gedung yang memiliki 18 lantai sampai dengan yang baru-baru ini mencapai 28 lantai milik the peak hotel. Untuk saat ini, Rekor bangunan dengan jumlah lantai tertinggi dipegang oleh “bung” the peak hotel dan tidak menutup kemungkinan kedepan akan ada lagi bangunan-bangunan pengusaha milik si X, Y, Z yang memiliki jumlah lantai lebih dari 28 lantai.

Paradigma sesat yang berkembang difikiran masyarakat yang menganggap “Bangunan modern itu lebih mencerminkan kemajuan” saya rasa adalah sebuah bentuk awal kehilangan jati diri kota   dan perlahan-lahan akan membunuh kebudayaan kita sendiri. sehingga kita akan tumbuh menjadi kota yang tidak beridentititas.
Dan sebaliknya, bangunan yang berartsitekturalkan  nilai-nilai nuasa lokal justru dipandang sangat kuno, ndeso sehingga WAJIB dan HALAL untuk diganti dengan yang baru bukan justru di lakukan konservasi. Sungguh tragis bukan negeri ini!

Hingga saya terkadang berfikir dan membuat anekdot “apakah ini semua akibat faktor pemberian nama kota pekanbaharu yang setiap pekan selalu baru!?, sehingga negeri ini justru suka mengadopsi yang baru-baru?” terkesan seolah-olah pemangku kebijakan di negeri antah barantah ini suka yang baru-baru. hahaaha,,,mudah-mudahan tidak.
Itu bukan isapan jempol belaka, lagi-lagi Prof. Eko Budiharjo bercerita  dalam bukunya “Kota Berwawasan Lingkungan” (1993) menyebutkan “wajah kota besar kita sekarang cenderung lebih banyak ditentukan oleh para penentu kebijakan perkotaan yang dikenal dengan the big boy, begitu dominannya peran pengelola kota”

Tidak sampai disitu saja, wabah modernisasi ala globalisasi juga merambah kepada pemberian nama-nama bangunan, gedung di Kota Pekanbaru. Mereka semua seakan berlomba-lomba menggunakan nama-nama modern dan terkesan canggih seperti the peak hotel, Star City, Grand Central Hotel.

Lantas apakah yang berbau dengan nuansa lokal harus ditinggalkan? Dan dianggap tidak bernilai, tidak memiliki gengsi dan terkesan ndeso? Saya rasa justru itu semua sebuah kepatalan persepsi yang terlanjur berkembang difikiran masyarakat dan perlu diluruskan di era modernisasi.
Bangunan-bangunan yang ber-arsitekturalkan nuansa lokal justru jauh lebih berharga dan tidak ternilai harganya dibandingkan dengan bangunan-bangunan ber-arsitekturalkan modern saat ini. Sebuah kebudayaan merupakan hasil cipta, karsa, rasa manusia yang diturunkan secara turun menurun dan diwariskan oleh nenek moyang kita dan sekali lagi ini tidak bisa dinilai dengan apa pun.
Jika ditelusuri bangunan dengan arsitektural modern sungguh sangat membingungkan, dan jauh lebih sesat. bangunan yang tidak jelas asal-usul-nya, sukar dipahami maksud dari arsitekturnya. semua hanya hasil permintaan si bos (pengusaha, penguasa) dan hasil rekayasa para arsitektural jenius gedung masa kini yang hanya  didesain dan dikerjakan dalam kurun waktu singkat. Sedangkan arsitektural yang bernuansa lokal jauh lebih memiliki makna yang mendalam sehingga yang membuat mahal terkadang adalah history-nya.
Keterlibatan para perekayasa bangunan yang dinilai sangat berperan dalam membawa perubahan wajah kota. Suatu ketika pernah saya pertanyakan hal ini dalam sebuah seminar yang di taja oleh teman-teman Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Riau (3/11) dengan tema “perencanaan kota humanis”.
Pada saat itu, hadir sebagai pembicara perwakilan dari IkatanNasioanal Konsultan Indonesia (INKINDO) Riau, yaitu Bapak Ir. HR. Firdaus Atan Msi. Dalam kesempatan diskusi itu, saya mengajukan pertanyaan kepada beliau “Bagaimana INKINDO sendiri mengarahkan para para perekayasa bagunan dan gedung-gedung yang di naunginya agar memiliki pola fikir cinta terhadap arsitektur Melayu? Sehingga para pengusaha yang berniat mendirikan bangunan menyadari keberadaanya yang harus menjunjung tinggi dan berpartisipasi juga dalam mempromosikan nilai-nilai kearifan lokal melalui arsitektur bangunan Melayu-nya?

Dalam tanya jawab tersebut, saya memperoleh jawaban yang sekiranya menurut saya begitu sangat mengecewakan sekali dan terkesan pesimis dan mereka tidak berbuat apa-apa. Beliau berkata “kita sama dengan pemerintah, tidak ada wewenang tegas mengenai hal itu, semua ditangan pemerintah”
Melihat kondisi yang demikian, saya pun berkesimpulan kita butuh kesinergisan antara 4P yaitu (Pemerintah, Perekayasa, Pengusaha, Penggiat Budaya). selama ini empat stakeholder tersebut terkesan berjalan sendiri-sendiri dan tidak memiliki pandangan dan tujuan yang sama.
Tugas kita semua kedepan yaitu, perlu menyatukan 4P tersebut  guna menyamakan pola fikir yang sama untuk mewujudkan wajah kota yang bernuansa Melayu sebagaimana yang di tuangkan dalam Visi dan Misi Propinsi Riau dan Kota Pekanbaru pada 2020 dan 2021.

Tidak Menyadari
Lantas pertanyaanya, apa yang terjadi sebenarnya di negeri antah barantah ini? Orang luar saja berbondong-bondong ingin mengunjungi peninggalan kebudayaan kita, lantas kita dengan bodohnya (maaf) membiarkan warisan kebudayaan kita sendiri baik itu berupa benda, bangunan, kebudayaan hilang dan dimusnahkan begitu saja.
Begitu rindu dan sangat ingin tahu-nya mereka, karena di negerinya sudah bosan melihat bangunan-bangunan yang megah, modern, canggih dan tidak memiliki historycal sehingga terkadang mereka berduyun-duyun melancong ke negeri kita tercinta yang terbilang surganya sejarah kebudayaan masal lalu.
Tidak jarang bahkan mereka menginginkan kebudayaan kita dengan mencaplok kebudayaan asli kita kemudian di adopsi diberikan cap sebagai objek kebudayaan mereka. Dan setelah di caplok lagi-lagi baru kita sibuk kelabakan bak  kebakaran jenggot bersama-sama memprotesnya. Hmm... entahalah...

Bukan Tidak Bisa
Terkadang saya bertanya-tanya pada diri saya sendiri ketika melintasi kawasan disepanjang Jalan Jendral Sudirman dengan memperhatikan dan membandingkan antara bangunan-bangunan milik pemerintah seperti bangunan milik Dinas Perhubungan Propinsi Riau, Dinas Kehutanan Propinsi Riau dengan bangunan-bangunan milik pengusaha. Timbul pertanyaan, “mengapa ya, bangunan pemerintah dengan tampilan beton sekalipun tetap bisa memadukan unsur kemalayuannya melalui ukiran kuning dan selembayung diatapnya??
Setahu saya, sudah ada peraturan yang mengatur itu di Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Pekanbaru, namun lagi-lagi realisasi dan kontrolisasi serta sanksi dilapangan terhitung masih begitu lemah dan loyo. Tidak ada arahan dan sanksi yang jelas sampai detik ini yang bisa menjadi pembuktian bahwasannya pemangku kebijakan hari ini benar-benar menjadi garda terdepan didalam membantu mngusung Visi dan Misi Propinsi Riau dan Kota Pekanbaru.

Apresiasi yang begitu tinggi sudah sepatutnya kita berikan kepada pemilik Sudirman City Square yang telah berani dan secara sadar mau berpartisipasi mengadopsi pribahasa “dimana langit dipijak disitu langit dijunjung” yaitu mendirikan bangunan dengan konsep modern namun tidak melupakan unsur jati diri kearifan lokal secara halus dan indah. Pengonsep arsitektural kawasan perbelanjaan tersebut saya nilai telah berhasil memadukan dua nuansa yang berbeda antara arsitektur modern dengan arsitektur klasik Melayu. dan itu patut diapresiasi dengan kebijakan lebih jauh lagi seperti pemberian reward (penghargaan) seperti keringanan pajak sehingga memicu keinginan siapapun baik pengusaha dan pribadi untuk bersama-sama mendukung program pemerintah. dan sebaliknya bagi yang membandel dan enggan mengikuti aturan yang telah ditentukan tentunya wajib di berikan punisment (sanksi/ hukuman) seperti berupa pemberatan pajak dan sebagainya.
Dengan begitu unsur-unsur kemelayuan yang tercermin melalui wajah kota bisa langsung dirasakan. Harapannya yaitu akan memberikan kesan yang berbeda dan menyentuh dihati para pendatang yang menginjakan kakinya di Bumi Melayu baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri sehingga mereka dengan mudah mengenali dan dengan gampangnya mengingat sebuah kota dengan beragam elemen yang membantu membangun citra kota salah satunya yaitu seperti land mark atau penanda sebuah kota lain yang benar-benar memiliki sangkut paut dengan kesejarahan suatu kota.


Visi dan Misi Pekanbaru, Riau Bisa Jadi Mitos
Jangan bermimpi jika hari ini tidak berbuat apa-apa menuju kesana. Cerminan kondisi hari ini sungguh berlawanan dan bersikutan dengan visi dan misi yang dicanangkan Propinsi Riau dan Kota Pekanbaru pada 2020 dan 2021.
Harapan dan cita-cita mulia untuk menjadikan Propinsi Riau dan kota Pekanbaru sebagai pusat kebudayaan melayu Riau di asia tenggara  yang tercantum di RTRW Propinsi Riau dan RTRW Kota Pekanbaru tampaknya akan sulit terwujud bak mitos saja.
Bagaimana tidak, waktu yang tersisa hanya tinggal delapan tahun kedepan, Jangankan pemahaman  kebudayaan Melayu di masyarakat yang belum sepenuhnya dimengerti, bangunan-bangunan yang menjadi saksi sejarah peradaban Melayu pun perlahan-lahan saat ini turut dimusnahkan alias hilang.
Saya ingat dengan kata-kata bijak milik orang tua dahulu “apa yang terjadi hari ini adalah buah dari hasil perbuatan orang terdahulu kita dan apa yang terjadi dimasa yang akan datang adalah buah perbuatan kita disaat ini”
Sebuah pertanyaan besar mucul, sudah kah kita berbuat banyak untuk menggapai visi dan misi kita tersebut?? bangunan-bangunan beraksitekturalkan melayu yang menjadi saksi peradaban sejarah melayu saat ini kondisinya sungguh sangat menyedihkan. Dang Merdu pun telah hilang tinggal lah nama yang hanya bisa dikenang. Akibat digusur dan diganti dengan bangunan yang baru tanpa adanya rasa berdosa kepada neneng moyang mereka sendiri terlebih kepada para anak cucu mereka dimasa yang akan datang.
mewujudkan pusat kebudayaan melayu dengan kondisi seperti saat ini sungguh sangat menyesakkan. Terlebih jika dua visi tersebut harus di emban dan di pikul oleh penggiat kebudayaan Melayu Riau saja tanpa mengikutsertakan seluruh stakeholder di bumi Melayu ini.

Kesan beban yang dipikul oleh lembaga adat Melayu (LAM) tersebut kian tampak jelas, kesan itu saya tangkap saat saya membaca dimedia cetak Riau Pos (4/11) beberapa waktu lalu, terkesan permerintah hanya melepas tangan saja setelah mengumandangkan Visi dan Misi Riau beberapa tahun silam. Dalam petikan pembicaraan yang saya coba catut dari media cetak tersebut Pak Al azhar selaku pengurus harian LAM hingga harus mengingatkan kepada pembuat kebijakan negeri ini, sebaiknya melibatkan banyak pihak, terutama pemerhati kebudayaan untuk pengembangan yang lama agar tidak salah langkah.
Sementara itu Ketua LKA LAM Riau Tenas Efendy juga menghimbau “jangan acuhkan kebudayaan kita sendiri dan teruslah mempertahankan dan banggalah karenanya”
Dari kesemua pesan yang di ungkapkan para penggiat kebudayaan diatas jelas mengisyaratkan kita semua selaku komponen penentu tercapainya Visi dan Misi sudah sepatutnya bersama-sama bersinergi bahu-membahu menjaga, mempertahankan, menerapkan kebudayaan Melayu itu sendiri baik dalam bentuk benda maupun seni atau pun kebudayaan.

Sudah sepatutnya pula nsaat ini pemangku kebijakan mulai berbenah diri dan mengintropeksi diri untuk lebih mensinergikan konsep pengambilan kebijakan dengan melibatkan seluruh stakeholder terkait didalamnya seperti Akademisi yang bergerak dibidang Perencanaan wilayah dan kota dan lembaga-lembaga maupun LSM yang bergerak dibidang kebudayaan Riau.
Terakhir saya akan mencoba mengutip pepatah dari Chairil Ghibran Ramadhan yang saya catut dari sebuah media surat kabar Riau Pos (28/10) yang disampaikan oleh beliau disela kunjungannya beberapa waktu lalu di Riau, Agar kita senantiasa lebih sadar, lebih mencintai dan menjaga kebudayaan kita baik itu benda maupun non benda agar menjadi sejarah peradapan nenek moyang kita.
“jangan salahkan jika hal itu terjadi, karena penjaga dari semua itu sesungguhnya adalah para orang dalam yang terlahir, tumbuh dan berkembang dalam aroma daerahnya”