Laman

Kamis, 20 Desember 2012

“DIBALIK POLEMIK PKL CUT NYAK DHIEN”




Foto: Suasana Aktifitas Masyarakat Kota Pekanbaru beberapa waktu lalu
Polemik pedagang kaki lima (PKL) versus pemerintah tampaknya beberapa minggu belakangan ini masih menjadi salah satu pemberitaan yang dinilai serius dan cukup menarik perhatian kita semua sebagai warga Kota Pekanbaru. Tidak terkecuali saya yang terus memantau perkembangannya.
Hingga detik ini, antara pihak PKL dan Pemerintah Kota Pekanbaru belum juga ada iktikad untuk menyelesaikan permasalahan tersebut secara arif dan bijaksana dengan mencari solusi yang benar-benar mewakili kemauan/kehendak dari kedua belah pihak.
Permasalahan tersebut semakin melebar dan turut serta melibatkan DPRD Kota Pekanbaru yang justru memberikan izin bagi para demonstran pedagang kaki lima saat melakukan aksi beberapa waktu lalu dan menghasilkan kesepakatan berupa izin yang dikeluarkan secara langsung oleh DPRD Kota Pekanbaru. Hal ini tentunya sangat jelas bersebarangan dengan kebijakan pemerintah Kota Pekanbaru yang dengan tegas melarang mereka berjualan dikawasan Cut Nyak Dhien, sehingga status kejelasan para PKL tampaknya semakin membingungkan saja ditengah masyarakat.

Permasalahan yang kadung terlanjur dan mengakar hingga sampai ketatanan sosial ekonomi masyarakat para pedagang kaki lima dirasa merupakan masalah dasar yang menjadi penyebabnya. sehingga tidak serta merta pemerintah dengan segampang itu saja melarang dan mengusir mereka secara paksa. Apalagi untuk mencari tempat lain karena lokasi tersebut sudah benar-benar menjadi tumpuan mata pencarian para pedagang kaki lima sejak lama.
Kondisi yang terjadi hari ini merupakan sebuah keterlanjuran yang dinilai sudah terlampau jauh bak sebuah pohon yang semakin besar, akarnya semakin kokoh sehingga untuk mencabut bahkan untuk membersihkannya pun tidak akan mudah sehingga diperlukannya cara yang tidak biasa pula.

PKL menjadi warisan

Jika kita mau sejenak saja meriview kembali mengenai asal muasal kehadiran PKL sewaktu Kota Pekanbaru di pimpin oleh walikota sebelumnya. Para pedagang kaki lima sengaja diberikan izin untuk berjualan dengan mengikuti beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah saat itu guna mengatur kebersihan, keteraturan kawasan tersebut. Kendati kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pada saat itu dinilai salah dengan tetap memberikan izin berjualan ditaman belakang perpustakaan Soeman HS. Dan setelah itu para PKL dilarang berjualan ditaman tersebut tanpa adanya kebijakan pemindahan lokasi yang jelas sehingga para PKL cenderung mengalami kebingungan untuk mencari lokasi yang baru. Dan pilihan lokasi baru itu pun akhirnya jatuh pada sosok badan jalan Cut Nyak Dhien yang lokasinya berada diantara gedung perpustakaan Soeman HS dan gedung Gubernuran.
Saya rasa apa pun alasannya, kebijakan tersebut tetap salah dan menyalahi aturan jika ditinjau dari  perspektif peruntukan dan pemanfaatan ruang kota yang diatur sedemikian rupa didalam buku sakti  Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Pengembangan 1 (RDTR WP 1) Kota Pekanbaru.

Saya juga meyakini pada saat itu, ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut tidak terlebih dahulu dilakukannya kajian mengenai dampak yang akan ditimbulkan terhadap keberadaan PKL kedepannya. Hanya sebatas perizinan non formal saja tanpa adanya dasar yang jelas mengenai kelegalitasan secara formal.
Meskipun kebijakan yang dikeluarkan hanya untuk mengatur lingkup permasalahan pedagang yang berjualan dimalam hari, namun seharusnya kebijakan tersebut tidak serta merta dikeluarkan tanpa adanya dasar kajian ilmiah yang seharusnya menjadi landasan dari pengambilan kebijakan terutama pemanfaatan ruang dan kebijakan yang menyangkut kepentingan hajat orang.
Jika kajian tersebut sudah ada, seharusnya permasalahan kedepannya seperti dampak sosial masyarakat kedepan, kemacetan lalu lintas yang ditimbulkan, penghentian dan pencabutan kebijakan sudah bisa diperkirakan dan sudah dilengkapi dengan solusi pula. Terlebih jika kedepannya terjadi pergantian kepemimpinan walikota yang lama dengan walikota yang baru secara otomatis kebijakan yang terdahulu akan berubah pula jadinya didalam mengatur nasib PKL dikawasan tersebut.

Situasi dan kondisi saat itu yang pada awalnya dinilai memungkinkan untuk dikeluarkan kebijakan izin bagi para PKL. seiring berjalannya waktu tanpa disadari kondisi tersebut terus mengalami perubahan hingga saat ini. seperti jumlah para pedagang kaki lima yang pada saat itu dinilai masih sedikit dan belum banyak yang berjualan dan pengunjungnya masih relatif sedikit sehingga dirasa tidak menimbulkan masalah yang cukup berarti terutama bagi kelancaran lalu lintas kawasan disekitarnya.

Namun apa yang terjadi hari ini? Dinamika jumlah pedagang yang berjualan terus mengalami peningkatan dari waktu kewaktu dan jumlah masyarakat Kota Pekanbaru yang berkunjung/datang semakin banyak dan kondisi ini tidak didukung lagi dengan kebijakan pemimpin yang baru seiring dengan telah begantinya walikota yang lama dengan walikota yang baru.
Sehingga pada akhirnya buah kebijakan walikota yang terdahulu yang melegalkan PKL untuk berjualan dan menggelar dagangannya  menjadi warisan untuk walikota yang baru. Dan tentunya, ini tidak akan menjadi masalah yang berarti jika kebijakan walikota yang lama dilanjutkan oleh walikota berikutnya. namun hari ini secara jelas dan tegas Pak Wali tidak membenarkan hal tersebut karena dinilai mengganggu arus lalu lintas bagi para pengguna jalan dan juga melanggar fungsi dari penggunaan ruang (space disfungtion) yang ada disekitar kawasan tersebut.

KEBERADAAN PKL TIDAK SERTA MERTA NEGATIF

Antusias masyarakat Kota Pekanbaru yang datang dan berkunjung setiap malamnya ke lokasi pasar malam yang digelar para pedagang kaki lima di jalan Cut Nyak Dhien baik untuk sekedar berkunjung, bersantai, menikmati susana malam, berbelanja maupun hanya untuk sekedar mengantarkan anak-anak mereka untuk menikmati hiburan. pada dasaranya telah membuka mata dan pintu hati kita bahwa ditengah gemerlapnya arus modernisasi kehidupan diperkotaan tidak serta merta memberikan tempat-tempat hiburan yang bisa dijangkau untuk semua golongan lapisan masyarakat diperkotaan.
Selain itu, tidak jarang masyarakat Kota Pekanbaru terkadang juga cenderung mengalami kebosanan, kejenuhan jika setiap saat hanya mengisi aktivitas waktu mereka dengan  aktivitas berbelanja, menikmati hiburan di pusat-pusat perbelanjaan yang notabenenya cenderung bernuansa glamor bin moderen. Sehingga terkadang mendorong rasa ingin tahu mereka untuk mencoba suasana yang berbeda yang jauh dari gemerlap gaya hidup ala modernisasi dengan mencari tempat berbelanja, hiburan, tempat bermain untuk anak-anak mereka yang jauh berbeda lebih bernuansa tradisional murah meriah terjangkau oleh semua lapisan golongan masyarakat.

Secara terang-terangan konsep tempat hiburan, berbelanja, rekreasi yang bersifat tradisional  seperti yang disediakan PKL beberapa dekade ini diseluruh kota-kota yang ada di indonesia mulai ditinggalkan. Dan berganti dengan tempat berbelanja ala modernisasi seperti pusat perbelanjaan berupa mall, departmenstore yang tanpa disadari justru memberikan jarak (Gap) antara si kaya dan si miskin atau orang-orang yang bertaraf hidup mewah dengan masyarakat yang bertaraf ekonomi lemah.
Jika kita mau merenung sembari berfikir serta menjawab dengan jujur pertanyaan berikut ini, adakah masyarakat kota kita yang bertaraf hidup ekonomi menengah kebawah bahkan ekonomi mereka yang begitu rendah bisa turut serta merta menikmati secara utuh kawasan perbelanjaan, hiburan, tempat bermain anak-anak seperti Mall, department store yang seharusnya juga bisa dinikmati untuk semua kalangan?
Namun hari ini konsep hiburan, perbelanjaan diperkotaan seakan didesain untuk warga kota yang bertaraf ekonomi mempuni saja, mengingat masyarakat yang bertaraf  hidup menengah keatas masih bisa dihitung berapa kali bisa berkunjung kesana. Lantas dimanakah tempat bagi mereka masyarakat kota kita yang kondisi ekonomi mereka yang hari ini sangat jauh dari kesan mapan, hidup mewah??  
Potret kondisi kehidupan masyarakat kota yang bertaraf ekonomi lemah hari ini, tidak jarang justru dipandang mencurigakan oleh para petugas kemanan pusat  perbelanjaan yang tampak sinis selalu melihat kaum minoritas yang berdandan dengan pakaian apa adanya. Padahal mereka ingin berbelanja juga, bukan cuma hanya datang untuk sekedar ingin melihat dan menikmati hiburan saja melainkan juga ingin berbelanja meskipun apa adanya. Tapi kondisinya justru malah diperlakukan sedemikian rupa.
Kemana-mana selalu dibuntuti karena paradigma yang melekat pada orang-orang bertaraf ekonomi lemah terkesan justru mencurigakan. dan hal ini tanpa disadari menimbulkan rasa minder diri dan ketakutan terhadap para pengunjung ekonomi lemah lainnya untuk berkunjung lagi. Lain halnya bagi mereka yang cenderung berpakaian bagus, mereka akan jauh dari sorotan kecurigaan penjaga keamanan pusat perbelanjaan. Padahal dalam filosofi berdagang pembeli adalah raja namun untuk yang satu ini tampaknya tidak akan berlaku dan kondisi ini sungguh-sungguh memperihatinkan.
Konsep perbelanjaan modernisasi saat ini, di kota-kota yang ada di indonesia tanpa disadari oleh kita juga memutus rantai kesamaan konsumen dan memutus aktivitas interaksi sosial tradisional antara penjual dengan pembeli. Semua proses berbelanja sudah dipatok alias ditetapkan dan enggak bisa di nego lagi.  Proses transaksi pun sudah tidak dilakukan melalui interaksi secara langsung sehingga menghilangkan interaksi sosial secara tradisonal seperti tawar-menawar, sapa-menyapa, bersenda gurau sesama penjual dengan pembeli semua itu seakan sudah tidak ditemukan lagi di Kota-kota Indonesia salah satunya yaitu Kota Pekanbaru.
Kondisi demikian justru menambah panjangnya rentetan penyebab timbulnya prilaku mental masyarakat kota yang bersifat individualistis yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan sesama masyarakat kota seperti hilangnya kepedulian tolong-menolong atar sesama, rasa empati.

Bandingkan jika kita berbelanja, menikmati hiburan dengan sajian ala PKL semua konsumen terkesan sama dimata penjual baik si kaya dan si miskin dan kondisi seperti ini membuka peluang yang besar dengan memberikan ruang yang lebih untuk warga kota  dalam melakukan interaksi/kontak sosial sesama warga kota baik sesama penjual dengan pembeli dan sesama pengunjung lainnya.
Tanpa harus merasa takut, khawatir dibuntuti dengan  petugas kemanan yang selalu memandang sinis para pembeli dengan taraf hidup ekonomi lemah.
Dengan demikian rasa sosial, saling mengenal yang diperoleh dari proses interaksi sesama masyarakat perkotaan baik itu antara si kaya dan si miskin bisa terbentuk, bersatu, membaur dan menumbuhkan jalinan rasa sosial yang baik antara mereka.

PKL Perlu di bina bukan dibinasahkan

Gebrakan dengan menciptakan solusi yang bersifat menang dan menang (win-win solution) tampaknya perlu dikedepankan oleh Pemerintah Kota Pekanbaru. Masih banyak solusi yang bisa dihadirkan guna mengakhiri polemik dengan pedagang kaki lima. Jika merujuk pada sebuah kebijakan atau aturan pada dasarnya kebijakan tersebut akan berasal dari masyarakat, untuk masyarakat, oleh masyarakat sendiri.
Hal ini juga sangat jelas diatur dalam konsep sebuah perencanaan yang berujung pada terciptanya sebuah kebijakan bahwa pendekatan didalam pengambilan kebijakan sudah sepatutnya bersifat partisipatif dengan mendengar aspirasi masyarakat atau didalam dunia perencanaan lebih dikenal dengan Botom up planning (perencanaan yang berasal dari bawah) bukan serta merta kebijakan harus dikendalikan atau diambil secara Top down Planning (perencanaan dari atas ke bawah)  dalam hal ini dominasi pemerintah lebih dikedepankan dibandingkan aspirasi masyarakat.
Tentunya hal ini sangat bertentangan dengan undang-undang dasar negara kita jika muara semua kebijakan tidak berlandaskan aspirasi masyarakat, mengingat didalam UUD 1945 Pasal 33 point 3 Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Secara tidak langsung ruang-ruang yang kita gunakan baik untuk jalan, permukiman, kawasan perkantoran merupakan bagian dari bumi yang tidak terbantahkan lagi keberadaanya.

2 Wacana sebagai alternatif polemik PKL

Alternatif pertama: Alangkah lebih baiknya pemerintah lebih banyak bermain pada tataran kebijakan atau aturan seperti melakukan pembinaan terhadap para PKL. Yang pada intinya tetap memberikan ruang kepada para PKL untuk tetap melakukan aktivitasnya dengan kaidah dan aturan yang disepakati secara bersama-sama oleh PEMKO dan para PKL. seperti yang dilakukan oleh negara tetangga kita yaitu Malaysia yang sukses membina PKL mereka dengan baik dan justru kehadiran PKL disana lambat laun justru menjadi potensi tersendiri untuk menarik perhatian wisatawan dari luar dan dalam negeri.  
Jika mempelajari pola aktivitas para PKL yang ada di jalan Cut Nyak Dhien, mereka cenderung hanya memanfaatkan ruas jalan dimalam hari. Sedangkan pada siang harinya kondisi ruas jalan bisa kembali dikondisikan seperti semula yang berfungsi sebagai jalan.
Ditinjau dari status fungsi jalan Cut Nyak Dhien yang digunakan para PKL pada malam hari jika dianalisa bukan lah jenis jalan yang penggunaannya bersifat aktif, yaitu siang dan malam arus lalu lintasnya tidak  begitu tinggi seperti Jalan Jendral Sudirman atau pun Jalan Tuanku Tambusai.
Melainkan Jalan Cut Nyak Dhien penggunaanya lebih bersifat pasif, hanya digunakan sebagai jalur menuju kawasan pemerintahan, pendidikan yang lebih aktif pada siang hari. Sehingga penggunaan jalan tersebut cenderung dinilai kurang optimal kegunaanya dimalam hari, kondisi ini disebabkan karena mobilitas arus lalu lintas yang sangat rendah terjadi dimalam hari. Dengan demikian penggunaan jalan tersebut jika dimalam hari sangat memungkinkan untuk dialihkan dengan jalan lain disebelahnya, yaitu jalan Cut Nyak Dhien I yang berada disamping antara kantor Dinas Bappeda Kota Pekanbaru dan Perpustakaan Soeman Hs yang sama-sama langsung menghubungkan jalan dibelakang bundaran taman Perpustakaan Soeman Hs yang cenderung bisa digunakan sebagai penggantinya.

Alternatif kedua yaitu,  pemerintah harus memberikan tempat/lokasi khusus yang diperuntukan bagi para PKL dengan cara memindahkan mereka. Namun melihat pola aktvitas para PKL yang hanya memanfaatkan ruang dimalam hari kebijakan tersebut dinilai akan lebih memberatkan pemerintah Kota Pekanbaru karena secara tidak langsung pemerintah akan terbebani dengan tugas mencari/menyediakan lokasi baru dengan cara menyewa/ membeli lahan yang lokasinya strategis dan letaknya tidak begitu jauh dari lokasi awal. Kebijakan seperti ini cukup berhasil ketika Pemko memindahkan para padagang pasar jongkok HR. Seoebrantas ke lokasi dibelakang MTC GIANT.
Namun kondisi jika dianalisa, nilai tambah yang menyebabkan kebijakan pemindahan para pedagang pasar jongkok berhasil yaitu, karena lokasi lahan yang disediakan pemerintah Kota Pekanbaru tidak begitu jauh dari tempat semula sehingga tidak mengurangi citra pasar jongkok yang sudah terlanjur melekat selama ini dikawasan HR. Sobrantas. Namun lain halnya jika pemindahannya dilakukan ditempat lain yang jauh dari lokasi awal, tentunya akan banyak faktor-faktor yang menyebabkan gagalnya kebijakan pemindahan  para pedagang pasar jongkok tersebut.

Namun terlepas dari beberapa solusi berupa alternatif diatas, tentunya Pemko perlu kembali melakukan kajian secara lanjut dengan melakukan studi kelayakan bersama Dinas terkait guna mempertimbangkan kembali solusi apa yang tepat sebagai alternatif dalam menangani permasalahan PKL tersebut.
Menurut hemat penulis kebijakan yang tepat dan cermat dengan mempertimbangkan berbagai isu persoalan dilapangan perlu diambil Pemko Kota Pekanbaru secara cepat dan tidak membiarkannya berlarut-larut guna menghindari semakin melabarnya permasalahan PKL tersebut kedepan. Hal ini terbukti, para PKL semakin menjadi-jadi sampai menggelar dagangannya di depan gedung DPRD Kota Pekanbaru. Jangan sampai permasalahan tersebut menjadi celah yang bisa dimanfaatkan orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang memiliki kepentingan lain dengan mengambil moment polemik antara pemerintah dan PKL.

Rabu, 05 Desember 2012

TINGKATKAN KEPEDULIAN PADA POHON KOTA


Tampaknya pohon mulai jadi langganan tempat pasang iklan
Kota kita tampaknya sudah tidak bisa memberikan rasa aman lagi bagi nasib pohon-pohon kota yang sengaja ditanam oleh pemerintah kota Pekanbaru sejak dulu.
Jika kita mau sedikit saja mencermati dengan seksama pohon-pohon yang tertanam disepanjang jalur pedestrian atau jalur pejalan kaki di sepanjang koridor jalan sudirman Kota Pekanbaru, maka kita akan melihat potret memperihatinkan dari pohon-pohon kota yang dipenuhi dengan spanduk-spanduk, pamflet berukuran sedang yang menempel dibatang pohon tersebut.
Dengan menjadikannya sasaran empuk tempat pemasangan spanduk, pamflet oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Dan yang sangat disesalkan lagi yaitu seluruh spanduk, pamflet tersebut dipasang dengan cara di paku. Kondisi ini tentunya sangat membahayakan bagi nasib si pohon yang hanya tinggal menunggu proses ajal kematian saja jika setiap saat batang pohon tersebut dipaku,  Karena paku yang tertanam dibatang pohon akan tertinggal dan menimbulkan karat yang dapat merusak sistem jaringan batang pohon tersebut sehingga berujung terjadinya kelapukan pada batang pohon.

Melihat kondisi seperti itu, tentunya pemerintah melalui dinas terkait seperti dinas pendapatan Kota Pekanbaru diharapkan bisa langsung bertindak untuk bisa mensterilkan pohon-pohon tersebut dari iklan-iklan tersebut.
Karena pada dasarnya, pemasangan iklan berupa spanduk, pamflet dibatang pohon tentunya sangat tidak dibenarkan sama sekali terutama oleh pemerintah sendiri yang jauh lebih tahu dan memahami terhadap resiko yang ditimbulkan. Terlebih lagi mengingat ditengah gencar-gencarnya pemerintah pusat melalui Presiden bersama menteri kehutanan beberapa hari yang lalu mengajak seluruh pemerintah ditingkat kabupaten dan kota untuk bersama-sama melakukan aksi hari menanam pohon bersama. tapi apa yang terjadi di kota kita? Pohon justru dianiaya dan diperlakukan dengan semena-mena.

Saya yakin, bisa jadi iklan tersebut adalah iklan ilegal yang tidak melalui proses perizinan resmi pemasangan spanduk melalui dinas terkait terlebih dahulu. dan jika memang benar tentunya ini adalah sebuah kerugian bagi Dinas terkait yang harus melewatkan peluang pajak yang seharusnya diperoleh dari pemasangan iklan dalam rangka menggenjot pendapatan asli daerah (PAD) kota Pekanbaru.
Jika kita mau meyadari dan melakukan perhitungan sederhana secara matik-matik, Kita bisa membayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan pemerintah dari dulu sampai saat ini? Dimulai dari awal pembelian bibit, perawatan yang dilakukan setiap saat oleh dinas kebersihan pertamanan hingga sampai pohon tersebut menjadi besar seperti saat ini. Lantas dana siapakah itu? Sudah jelas dapat dipastikan itu adalah dana kita semua warga Kota Pekanbaru yang diperoleh dari hasil pajak yang kita setorkan bukan kepada pemerintah.
Sudah sepatutnya pula kita bersama-sama turut menjaga pohon tersebut bukan malah kita perlakukan pohon tersebut dengan semena-mena seperti saat ini.
Disamping itu,  jika kita mau menyadari bahwa begitu banyak manfaat yang bisa kita dapatkan dengan adanya pohon terutama untuk kawasan perkotaan seperti: Menahan laju air permukaan dan erosi, menjaga kesuburan tanah, menghasilkan oksigen (O2) dan mengurangi karbondioksida (CO2) yang dihasilkan dari gas buang kendaraan bermotor, Lingkungan menjadi nyaman, pohon juga sebagai Produsen pangan, sebagai peredam kebisingan, komponenen estetika hijau nan indah perkotaan.

Lantas apa jadinya Kota Pekanbaru jika tanpa adanya pohon kota?
Dampak buruk seperti terjadinya kenaikan suhu perkotaan, polusi gas buang kendaraan dimana-mana, terjadinya kebisingan, timbulnya berbagai penyakit bagi warga kota akibat gas buang kendaraan dan terjadinya stress. tentunya kondisi  seperti ini dapat dipastikan akan membuat para warga kota merasa tidak aman dan  nyaman.
Jika hal ini terus dibiarkan begitu saja tanpa adanya perhatian yang serius, maka harapan mulia yang digadang-gadang oleh pak wali untuk menjadikan kota Pekanbaru sebagai kota metropolis yang madani tampaknya akan sulit terwujud. Mengingat  poin penting dari unsur kriteria kota madani adalah salah satunya yaitu menciptakan rasa aman, nyaman, mausiawi bagi para penghuni kotanya yang tanpa disadari bisa diperoleh dari keberadaan pohon kota.

Permasalahan seperti  ini tentunya bukan barang baru lagi di Kota Pekanbaru terlebih ketika memasuki musim  acara perhelatan akbar yang bersifat Nasional, lokal seperti musim kampanye politik yang sedang marak-maraknya terjadi di Kota Pekanbaru. Tidak jarang pohon-pohon tersebut  terkadang cenderung turut berganti-ganti warna baju sesuai dengan musimnya berkat iklan yang terpasang pada batang pohon tersebut. terkadang berwarna merah, kuning, biru, putih dan lain-lain sebagainya.

Untuk itu diperlukannya ketegasan, keseriusan pemerintah Kota Pekanbaru untuk membuat peraturan sebagai payung hukum untuk melindungi nasib pohon-pohon kita kedepannya. Minimal setingkat peraturan wali kota (Perwako) dan alangkah lebih baik lagi jika adanya peraturan khusus berupa peraturan daerah (PERDA) tentang larangan memasang iklan pada pohon serta peraturan yang mengatur kawasan yang peruntukannya dibenarkan untuk dipasangi iklan dan kemudian pemerintah perlu mensosialisasikannya kepada seluruh lapisan masyarakat Kota Pekanbaru.
Disamping itu, guna memberikan efek jera bagi para pelakunya sudah sepatutnya Punisment atau sanksi sudah sepatutnya diberikan kepada pihak-pihak yang melanggarnya.
Warga kota juga sudah sepatutnya turut serta bersama-sama mengontrol setiap perubahan yang terjadi dengan menegur secara langsung atau mengadukan hal tersebut kepada Dinas terkait. sementara itu, untuk para pengusaha dan bakal calon yang akan menaiki pentas panggung perpolitikan  diharapkan bisa memberikan contoh dan suri tauladan yang baik bagi warga kota dengan tidak melakukan sosialisasi pencitraan dengan menjadikan pohon sebagai sasaran empuk tempat pemasangan iklan.
Dengan demikian harapan untuk menciptakan Kota Pekanbaru sebagai kota metropilis yang madani bukan tidak mungkin tidak bisa tercapai. Melalui kesadaran dan peran serta fungsi dari masing-masing stakeholder diharapkan bisa bersama-sama bahu-membahu untuk mewujudkan Kota Pekanbaru kedepan yang memberikan rasa aman, nyaman, sejuk bagi para warga kotanya terlebih kepada para tamu atau pendatang yang menginjakan kaki di Kota Bertuah ini nantinya.

Senin, 26 November 2012

Wajah Kota Versi Visi Misi (VS) Wajah Kota Versi Modernisasi




Hiruk pikuk perkembangan kota kita dewasa ini terkesan sungguh sangat mengkhawatirkan. Ditengah derasnya gempuran, hantaman seni, kebudayaan negeri luar yang terus mewabah, menjamur begitu sangat cepat tersampaikan melalui canggihnya teknologi informasi dewasa ini. Dan yang sangat dikhawatirkan yaitu, hampir sebagian besar para remaja bahkan orang tua saat ini justru jauh lebih mengenal dan mengikuti trend film korea, boyband korea, girlband korea, music korea, tarian korea dan yang tak kalah hebohnya saat ini yaitu gamnam style-nya milik korea.
Tapi tenang dulu, saya bukan mau membahas tentang wabah koreamania lebih jauh. Saya hanya sepintas saja menggambarkan kondisi hari ini yang terjadi dan sayangnya kita tidak menyadarinya.
Saya khwatir generasi remaja mendatang yang diharapkan menjadi tumpuan penerus kebudayaan generasi selanjutnya bakalan kebablasan alias lali atau lupa diri (dalam bahasa jawa) sehingga mengakibatkan hilangnya jati diri kebudayaan lokalnya sendiri dan justru malah lebih mengenal kebudayaan negeri orang dibandingkan negeri sendiri.
Alamat lah sudah pak cik, warisan kebudayaan kita kedepan hanya akan menjadi catatan rapi yang tersimpan di rak lemari dan menjadi saksi sejarah dan tak bisa dinikmati oleh anak cucu kita dimasa yang akan datang.

Serupa Tapi Tidak Sama
Permasalahannya serupa tapi tidak sama. Hal itu lah yang juga terjadi pada perkembangan situasi wajah Kota Pekanbaru saat ini. Berbicara wajah kota tentunya sangat erat keterkaitannya dengan arsitektural kota itu sendiri siapa dan bagaimana masyarakatnya. Jauh-jauh hari Prof. Eko budihardjo bercerita dalam bukunya yang berjudul Tata Ruang Perkotaan (1997) menyebut “kota seperti halnya arsitektural, sering disebut sebagai cerminan budaya masyarakatnya”
Lantas bagaimana dengan cerminan budaya masyarakat kota pekanbaru dalam memberi sentuhan terhadap arsitektural wajah kotanya?
Belakangan mulai bermuculan bangunan-bangunan, gedung-gedung bergaya ala arsitektural modern yang di adopsi dari negeri luar bukan negeri sendiri, sementara itu masyarakat kota kita sendiri hanya cuek dan tidak mau tahu lantak lah situ (bahasa minang). itulah potret cerminan budaya masyarakat kita saat ini.

Fenomena pengadopsian bangunan berarsitektur modern di Kota Bertuah sangat memperihatinkan tanpa sedikit pun menyematkan unsur ciri khas kemelayuan. Gebrakan secara besar-besaran sebagai tanda cikal bakal diawali bangunan modern di Kota Bertuah ini yaitu dengan dibangunannya gedung  Gubernuran, Perpustakaan Soeman Hs, disusul dengan dibangunannya gedung milik Awal Bros yang baru, Hotel Priemer, Bank Riau Kepri dengan sosok full glass-nya, Star City, Hotel Grand Central dan yang terakhir bangunan milik the peak hotel yang sebentar lagi diprediksi bakalan membahana semakin menambah semaraknya persaingan gedung-gedung pencakar langit di Kota bertuah bak kota Jakarta.

Ketinggian bangunannya pun beragam, dimulai dari jenis gedung yang memiliki 18 lantai sampai dengan yang baru-baru ini mencapai 28 lantai milik the peak hotel. Untuk saat ini, Rekor bangunan dengan jumlah lantai tertinggi dipegang oleh “bung” the peak hotel dan tidak menutup kemungkinan kedepan akan ada lagi bangunan-bangunan pengusaha milik si X, Y, Z yang memiliki jumlah lantai lebih dari 28 lantai.

Paradigma sesat yang berkembang difikiran masyarakat yang menganggap “Bangunan modern itu lebih mencerminkan kemajuan” saya rasa adalah sebuah bentuk awal kehilangan jati diri kota   dan perlahan-lahan akan membunuh kebudayaan kita sendiri. sehingga kita akan tumbuh menjadi kota yang tidak beridentititas.
Dan sebaliknya, bangunan yang berartsitekturalkan  nilai-nilai nuasa lokal justru dipandang sangat kuno, ndeso sehingga WAJIB dan HALAL untuk diganti dengan yang baru bukan justru di lakukan konservasi. Sungguh tragis bukan negeri ini!

Hingga saya terkadang berfikir dan membuat anekdot “apakah ini semua akibat faktor pemberian nama kota pekanbaharu yang setiap pekan selalu baru!?, sehingga negeri ini justru suka mengadopsi yang baru-baru?” terkesan seolah-olah pemangku kebijakan di negeri antah barantah ini suka yang baru-baru. hahaaha,,,mudah-mudahan tidak.
Itu bukan isapan jempol belaka, lagi-lagi Prof. Eko Budiharjo bercerita  dalam bukunya “Kota Berwawasan Lingkungan” (1993) menyebutkan “wajah kota besar kita sekarang cenderung lebih banyak ditentukan oleh para penentu kebijakan perkotaan yang dikenal dengan the big boy, begitu dominannya peran pengelola kota”

Tidak sampai disitu saja, wabah modernisasi ala globalisasi juga merambah kepada pemberian nama-nama bangunan, gedung di Kota Pekanbaru. Mereka semua seakan berlomba-lomba menggunakan nama-nama modern dan terkesan canggih seperti the peak hotel, Star City, Grand Central Hotel.

Lantas apakah yang berbau dengan nuansa lokal harus ditinggalkan? Dan dianggap tidak bernilai, tidak memiliki gengsi dan terkesan ndeso? Saya rasa justru itu semua sebuah kepatalan persepsi yang terlanjur berkembang difikiran masyarakat dan perlu diluruskan di era modernisasi.
Bangunan-bangunan yang ber-arsitekturalkan nuansa lokal justru jauh lebih berharga dan tidak ternilai harganya dibandingkan dengan bangunan-bangunan ber-arsitekturalkan modern saat ini. Sebuah kebudayaan merupakan hasil cipta, karsa, rasa manusia yang diturunkan secara turun menurun dan diwariskan oleh nenek moyang kita dan sekali lagi ini tidak bisa dinilai dengan apa pun.
Jika ditelusuri bangunan dengan arsitektural modern sungguh sangat membingungkan, dan jauh lebih sesat. bangunan yang tidak jelas asal-usul-nya, sukar dipahami maksud dari arsitekturnya. semua hanya hasil permintaan si bos (pengusaha, penguasa) dan hasil rekayasa para arsitektural jenius gedung masa kini yang hanya  didesain dan dikerjakan dalam kurun waktu singkat. Sedangkan arsitektural yang bernuansa lokal jauh lebih memiliki makna yang mendalam sehingga yang membuat mahal terkadang adalah history-nya.
Keterlibatan para perekayasa bangunan yang dinilai sangat berperan dalam membawa perubahan wajah kota. Suatu ketika pernah saya pertanyakan hal ini dalam sebuah seminar yang di taja oleh teman-teman Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Riau (3/11) dengan tema “perencanaan kota humanis”.
Pada saat itu, hadir sebagai pembicara perwakilan dari IkatanNasioanal Konsultan Indonesia (INKINDO) Riau, yaitu Bapak Ir. HR. Firdaus Atan Msi. Dalam kesempatan diskusi itu, saya mengajukan pertanyaan kepada beliau “Bagaimana INKINDO sendiri mengarahkan para para perekayasa bagunan dan gedung-gedung yang di naunginya agar memiliki pola fikir cinta terhadap arsitektur Melayu? Sehingga para pengusaha yang berniat mendirikan bangunan menyadari keberadaanya yang harus menjunjung tinggi dan berpartisipasi juga dalam mempromosikan nilai-nilai kearifan lokal melalui arsitektur bangunan Melayu-nya?

Dalam tanya jawab tersebut, saya memperoleh jawaban yang sekiranya menurut saya begitu sangat mengecewakan sekali dan terkesan pesimis dan mereka tidak berbuat apa-apa. Beliau berkata “kita sama dengan pemerintah, tidak ada wewenang tegas mengenai hal itu, semua ditangan pemerintah”
Melihat kondisi yang demikian, saya pun berkesimpulan kita butuh kesinergisan antara 4P yaitu (Pemerintah, Perekayasa, Pengusaha, Penggiat Budaya). selama ini empat stakeholder tersebut terkesan berjalan sendiri-sendiri dan tidak memiliki pandangan dan tujuan yang sama.
Tugas kita semua kedepan yaitu, perlu menyatukan 4P tersebut  guna menyamakan pola fikir yang sama untuk mewujudkan wajah kota yang bernuansa Melayu sebagaimana yang di tuangkan dalam Visi dan Misi Propinsi Riau dan Kota Pekanbaru pada 2020 dan 2021.

Tidak Menyadari
Lantas pertanyaanya, apa yang terjadi sebenarnya di negeri antah barantah ini? Orang luar saja berbondong-bondong ingin mengunjungi peninggalan kebudayaan kita, lantas kita dengan bodohnya (maaf) membiarkan warisan kebudayaan kita sendiri baik itu berupa benda, bangunan, kebudayaan hilang dan dimusnahkan begitu saja.
Begitu rindu dan sangat ingin tahu-nya mereka, karena di negerinya sudah bosan melihat bangunan-bangunan yang megah, modern, canggih dan tidak memiliki historycal sehingga terkadang mereka berduyun-duyun melancong ke negeri kita tercinta yang terbilang surganya sejarah kebudayaan masal lalu.
Tidak jarang bahkan mereka menginginkan kebudayaan kita dengan mencaplok kebudayaan asli kita kemudian di adopsi diberikan cap sebagai objek kebudayaan mereka. Dan setelah di caplok lagi-lagi baru kita sibuk kelabakan bak  kebakaran jenggot bersama-sama memprotesnya. Hmm... entahalah...

Bukan Tidak Bisa
Terkadang saya bertanya-tanya pada diri saya sendiri ketika melintasi kawasan disepanjang Jalan Jendral Sudirman dengan memperhatikan dan membandingkan antara bangunan-bangunan milik pemerintah seperti bangunan milik Dinas Perhubungan Propinsi Riau, Dinas Kehutanan Propinsi Riau dengan bangunan-bangunan milik pengusaha. Timbul pertanyaan, “mengapa ya, bangunan pemerintah dengan tampilan beton sekalipun tetap bisa memadukan unsur kemalayuannya melalui ukiran kuning dan selembayung diatapnya??
Setahu saya, sudah ada peraturan yang mengatur itu di Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Pekanbaru, namun lagi-lagi realisasi dan kontrolisasi serta sanksi dilapangan terhitung masih begitu lemah dan loyo. Tidak ada arahan dan sanksi yang jelas sampai detik ini yang bisa menjadi pembuktian bahwasannya pemangku kebijakan hari ini benar-benar menjadi garda terdepan didalam membantu mngusung Visi dan Misi Propinsi Riau dan Kota Pekanbaru.

Apresiasi yang begitu tinggi sudah sepatutnya kita berikan kepada pemilik Sudirman City Square yang telah berani dan secara sadar mau berpartisipasi mengadopsi pribahasa “dimana langit dipijak disitu langit dijunjung” yaitu mendirikan bangunan dengan konsep modern namun tidak melupakan unsur jati diri kearifan lokal secara halus dan indah. Pengonsep arsitektural kawasan perbelanjaan tersebut saya nilai telah berhasil memadukan dua nuansa yang berbeda antara arsitektur modern dengan arsitektur klasik Melayu. dan itu patut diapresiasi dengan kebijakan lebih jauh lagi seperti pemberian reward (penghargaan) seperti keringanan pajak sehingga memicu keinginan siapapun baik pengusaha dan pribadi untuk bersama-sama mendukung program pemerintah. dan sebaliknya bagi yang membandel dan enggan mengikuti aturan yang telah ditentukan tentunya wajib di berikan punisment (sanksi/ hukuman) seperti berupa pemberatan pajak dan sebagainya.
Dengan begitu unsur-unsur kemelayuan yang tercermin melalui wajah kota bisa langsung dirasakan. Harapannya yaitu akan memberikan kesan yang berbeda dan menyentuh dihati para pendatang yang menginjakan kakinya di Bumi Melayu baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri sehingga mereka dengan mudah mengenali dan dengan gampangnya mengingat sebuah kota dengan beragam elemen yang membantu membangun citra kota salah satunya yaitu seperti land mark atau penanda sebuah kota lain yang benar-benar memiliki sangkut paut dengan kesejarahan suatu kota.


Visi dan Misi Pekanbaru, Riau Bisa Jadi Mitos
Jangan bermimpi jika hari ini tidak berbuat apa-apa menuju kesana. Cerminan kondisi hari ini sungguh berlawanan dan bersikutan dengan visi dan misi yang dicanangkan Propinsi Riau dan Kota Pekanbaru pada 2020 dan 2021.
Harapan dan cita-cita mulia untuk menjadikan Propinsi Riau dan kota Pekanbaru sebagai pusat kebudayaan melayu Riau di asia tenggara  yang tercantum di RTRW Propinsi Riau dan RTRW Kota Pekanbaru tampaknya akan sulit terwujud bak mitos saja.
Bagaimana tidak, waktu yang tersisa hanya tinggal delapan tahun kedepan, Jangankan pemahaman  kebudayaan Melayu di masyarakat yang belum sepenuhnya dimengerti, bangunan-bangunan yang menjadi saksi sejarah peradaban Melayu pun perlahan-lahan saat ini turut dimusnahkan alias hilang.
Saya ingat dengan kata-kata bijak milik orang tua dahulu “apa yang terjadi hari ini adalah buah dari hasil perbuatan orang terdahulu kita dan apa yang terjadi dimasa yang akan datang adalah buah perbuatan kita disaat ini”
Sebuah pertanyaan besar mucul, sudah kah kita berbuat banyak untuk menggapai visi dan misi kita tersebut?? bangunan-bangunan beraksitekturalkan melayu yang menjadi saksi peradaban sejarah melayu saat ini kondisinya sungguh sangat menyedihkan. Dang Merdu pun telah hilang tinggal lah nama yang hanya bisa dikenang. Akibat digusur dan diganti dengan bangunan yang baru tanpa adanya rasa berdosa kepada neneng moyang mereka sendiri terlebih kepada para anak cucu mereka dimasa yang akan datang.
mewujudkan pusat kebudayaan melayu dengan kondisi seperti saat ini sungguh sangat menyesakkan. Terlebih jika dua visi tersebut harus di emban dan di pikul oleh penggiat kebudayaan Melayu Riau saja tanpa mengikutsertakan seluruh stakeholder di bumi Melayu ini.

Kesan beban yang dipikul oleh lembaga adat Melayu (LAM) tersebut kian tampak jelas, kesan itu saya tangkap saat saya membaca dimedia cetak Riau Pos (4/11) beberapa waktu lalu, terkesan permerintah hanya melepas tangan saja setelah mengumandangkan Visi dan Misi Riau beberapa tahun silam. Dalam petikan pembicaraan yang saya coba catut dari media cetak tersebut Pak Al azhar selaku pengurus harian LAM hingga harus mengingatkan kepada pembuat kebijakan negeri ini, sebaiknya melibatkan banyak pihak, terutama pemerhati kebudayaan untuk pengembangan yang lama agar tidak salah langkah.
Sementara itu Ketua LKA LAM Riau Tenas Efendy juga menghimbau “jangan acuhkan kebudayaan kita sendiri dan teruslah mempertahankan dan banggalah karenanya”
Dari kesemua pesan yang di ungkapkan para penggiat kebudayaan diatas jelas mengisyaratkan kita semua selaku komponen penentu tercapainya Visi dan Misi sudah sepatutnya bersama-sama bersinergi bahu-membahu menjaga, mempertahankan, menerapkan kebudayaan Melayu itu sendiri baik dalam bentuk benda maupun seni atau pun kebudayaan.

Sudah sepatutnya pula nsaat ini pemangku kebijakan mulai berbenah diri dan mengintropeksi diri untuk lebih mensinergikan konsep pengambilan kebijakan dengan melibatkan seluruh stakeholder terkait didalamnya seperti Akademisi yang bergerak dibidang Perencanaan wilayah dan kota dan lembaga-lembaga maupun LSM yang bergerak dibidang kebudayaan Riau.
Terakhir saya akan mencoba mengutip pepatah dari Chairil Ghibran Ramadhan yang saya catut dari sebuah media surat kabar Riau Pos (28/10) yang disampaikan oleh beliau disela kunjungannya beberapa waktu lalu di Riau, Agar kita senantiasa lebih sadar, lebih mencintai dan menjaga kebudayaan kita baik itu benda maupun non benda agar menjadi sejarah peradapan nenek moyang kita.
“jangan salahkan jika hal itu terjadi, karena penjaga dari semua itu sesungguhnya adalah para orang dalam yang terlahir, tumbuh dan berkembang dalam aroma daerahnya”