Foto: Suasana Aktifitas Masyarakat Kota Pekanbaru beberapa waktu lalu |
Polemik pedagang kaki lima (PKL) versus pemerintah tampaknya beberapa
minggu belakangan ini masih menjadi salah satu pemberitaan yang dinilai serius
dan cukup menarik perhatian kita semua sebagai warga Kota Pekanbaru. Tidak
terkecuali saya yang terus memantau perkembangannya.
Hingga detik ini, antara pihak PKL dan Pemerintah Kota Pekanbaru belum juga
ada iktikad untuk menyelesaikan permasalahan tersebut secara arif dan bijaksana
dengan mencari solusi yang benar-benar mewakili kemauan/kehendak dari kedua
belah pihak.
Permasalahan tersebut semakin melebar dan turut serta melibatkan DPRD Kota
Pekanbaru yang justru memberikan izin bagi para demonstran pedagang kaki lima
saat melakukan aksi beberapa waktu lalu dan menghasilkan kesepakatan berupa izin
yang dikeluarkan secara langsung oleh DPRD Kota Pekanbaru. Hal ini tentunya
sangat jelas bersebarangan dengan kebijakan pemerintah Kota Pekanbaru yang dengan
tegas melarang mereka berjualan dikawasan Cut Nyak Dhien, sehingga status
kejelasan para PKL tampaknya semakin membingungkan saja ditengah masyarakat.
Permasalahan yang kadung terlanjur dan mengakar hingga sampai ketatanan sosial
ekonomi masyarakat para pedagang kaki lima dirasa merupakan masalah dasar yang
menjadi penyebabnya. sehingga tidak serta merta pemerintah dengan segampang itu
saja melarang dan mengusir mereka secara paksa. Apalagi untuk mencari tempat
lain karena lokasi tersebut sudah benar-benar menjadi tumpuan mata pencarian
para pedagang kaki lima sejak lama.
Kondisi yang terjadi hari ini merupakan sebuah keterlanjuran yang dinilai
sudah terlampau jauh bak sebuah pohon yang semakin besar, akarnya semakin kokoh
sehingga untuk mencabut bahkan untuk membersihkannya pun tidak akan mudah
sehingga diperlukannya cara yang tidak biasa pula.
PKL menjadi warisan
Jika kita mau sejenak saja meriview
kembali mengenai asal muasal kehadiran PKL sewaktu Kota Pekanbaru di pimpin
oleh walikota sebelumnya. Para pedagang kaki lima sengaja diberikan izin untuk
berjualan dengan mengikuti beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah saat
itu guna mengatur kebersihan, keteraturan kawasan tersebut. Kendati kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah pada saat itu dinilai salah dengan tetap memberikan
izin berjualan ditaman belakang perpustakaan Soeman HS. Dan setelah itu para
PKL dilarang berjualan ditaman tersebut tanpa adanya kebijakan pemindahan lokasi
yang jelas sehingga para PKL cenderung mengalami kebingungan untuk mencari
lokasi yang baru. Dan pilihan lokasi baru itu pun akhirnya jatuh pada sosok badan
jalan Cut Nyak Dhien yang lokasinya berada diantara gedung perpustakaan Soeman
HS dan gedung Gubernuran.
Saya rasa apa pun alasannya, kebijakan tersebut tetap salah dan menyalahi
aturan jika ditinjau dari perspektif
peruntukan dan pemanfaatan ruang kota yang diatur sedemikian rupa didalam buku
sakti Rencana Detail Tata Ruang Wilayah
Pengembangan 1 (RDTR WP 1) Kota Pekanbaru.
Saya juga meyakini pada saat itu, ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan
tersebut tidak terlebih dahulu dilakukannya kajian mengenai dampak yang akan
ditimbulkan terhadap keberadaan PKL kedepannya. Hanya sebatas perizinan non
formal saja tanpa adanya dasar yang jelas mengenai kelegalitasan secara formal.
Meskipun kebijakan yang dikeluarkan hanya untuk mengatur lingkup
permasalahan pedagang yang berjualan dimalam hari, namun seharusnya kebijakan
tersebut tidak serta merta dikeluarkan tanpa adanya dasar kajian ilmiah yang
seharusnya menjadi landasan dari pengambilan kebijakan terutama pemanfaatan
ruang dan kebijakan yang menyangkut kepentingan hajat orang.
Jika kajian tersebut sudah ada, seharusnya permasalahan kedepannya seperti
dampak sosial masyarakat kedepan, kemacetan lalu lintas yang ditimbulkan,
penghentian dan pencabutan kebijakan sudah bisa diperkirakan dan sudah
dilengkapi dengan solusi pula. Terlebih jika kedepannya terjadi pergantian
kepemimpinan walikota yang lama dengan walikota yang baru secara otomatis
kebijakan yang terdahulu akan berubah pula jadinya didalam mengatur nasib PKL
dikawasan tersebut.
Situasi dan kondisi saat itu yang pada awalnya dinilai memungkinkan untuk dikeluarkan
kebijakan izin bagi para PKL. seiring berjalannya waktu tanpa disadari kondisi
tersebut terus mengalami perubahan hingga saat ini. seperti jumlah para
pedagang kaki lima yang pada saat itu dinilai masih sedikit dan belum banyak yang
berjualan dan pengunjungnya masih relatif sedikit sehingga dirasa tidak
menimbulkan masalah yang cukup berarti terutama bagi kelancaran lalu lintas
kawasan disekitarnya.
Namun apa yang terjadi hari ini? Dinamika jumlah pedagang yang berjualan
terus mengalami peningkatan dari waktu kewaktu dan jumlah masyarakat Kota
Pekanbaru yang berkunjung/datang semakin banyak dan kondisi ini tidak didukung
lagi dengan kebijakan pemimpin yang baru seiring dengan telah begantinya
walikota yang lama dengan walikota yang baru.
Sehingga pada akhirnya buah kebijakan walikota yang terdahulu yang
melegalkan PKL untuk berjualan dan menggelar dagangannya menjadi warisan untuk walikota yang baru. Dan
tentunya, ini tidak akan menjadi masalah yang berarti jika kebijakan walikota
yang lama dilanjutkan oleh walikota berikutnya. namun hari ini secara jelas dan
tegas Pak Wali tidak membenarkan hal tersebut karena dinilai mengganggu arus lalu
lintas bagi para pengguna jalan dan juga melanggar fungsi dari penggunaan ruang
(space disfungtion) yang ada
disekitar kawasan tersebut.
KEBERADAAN PKL TIDAK SERTA MERTA NEGATIF
Antusias masyarakat Kota Pekanbaru yang datang dan berkunjung setiap
malamnya ke lokasi pasar malam yang digelar para pedagang kaki lima di jalan Cut
Nyak Dhien baik untuk sekedar berkunjung, bersantai, menikmati susana malam, berbelanja
maupun hanya untuk sekedar mengantarkan anak-anak mereka untuk menikmati
hiburan. pada dasaranya telah membuka mata dan pintu hati kita bahwa ditengah
gemerlapnya arus modernisasi kehidupan diperkotaan tidak serta merta memberikan
tempat-tempat hiburan yang bisa dijangkau untuk semua golongan lapisan masyarakat
diperkotaan.
Selain itu, tidak jarang masyarakat Kota Pekanbaru terkadang juga cenderung
mengalami kebosanan, kejenuhan jika setiap saat hanya mengisi aktivitas waktu
mereka dengan aktivitas berbelanja,
menikmati hiburan di pusat-pusat perbelanjaan yang notabenenya cenderung
bernuansa glamor bin moderen. Sehingga terkadang mendorong rasa ingin tahu
mereka untuk mencoba suasana yang berbeda yang jauh dari gemerlap gaya hidup ala
modernisasi dengan mencari tempat berbelanja, hiburan, tempat bermain untuk
anak-anak mereka yang jauh berbeda lebih bernuansa tradisional murah meriah
terjangkau oleh semua lapisan golongan masyarakat.
Secara terang-terangan konsep tempat hiburan, berbelanja, rekreasi yang
bersifat tradisional seperti yang
disediakan PKL beberapa dekade ini diseluruh kota-kota yang ada di indonesia
mulai ditinggalkan. Dan berganti dengan tempat berbelanja ala modernisasi
seperti pusat perbelanjaan berupa mall, departmenstore yang tanpa disadari
justru memberikan jarak (Gap) antara
si kaya dan si miskin atau orang-orang yang bertaraf hidup mewah dengan masyarakat
yang bertaraf ekonomi lemah.
Jika kita mau merenung sembari berfikir serta menjawab dengan jujur
pertanyaan berikut ini, adakah masyarakat kota kita yang bertaraf hidup ekonomi
menengah kebawah bahkan ekonomi mereka yang begitu rendah bisa turut serta
merta menikmati secara utuh kawasan perbelanjaan, hiburan, tempat bermain
anak-anak seperti Mall, department store yang seharusnya juga bisa dinikmati
untuk semua kalangan?
Namun hari ini konsep hiburan, perbelanjaan diperkotaan seakan didesain
untuk warga kota yang bertaraf ekonomi mempuni saja, mengingat masyarakat yang
bertaraf hidup menengah keatas masih
bisa dihitung berapa kali bisa berkunjung kesana. Lantas dimanakah tempat bagi
mereka masyarakat kota kita yang kondisi ekonomi mereka yang hari ini sangat
jauh dari kesan mapan, hidup mewah??
Potret kondisi kehidupan masyarakat kota yang bertaraf ekonomi lemah hari
ini, tidak jarang justru dipandang mencurigakan oleh para petugas kemanan
pusat perbelanjaan yang tampak sinis
selalu melihat kaum minoritas yang berdandan dengan pakaian apa adanya. Padahal
mereka ingin berbelanja juga, bukan cuma hanya datang untuk sekedar ingin melihat
dan menikmati hiburan saja melainkan juga ingin berbelanja meskipun apa adanya.
Tapi kondisinya justru malah diperlakukan sedemikian rupa.
Kemana-mana selalu dibuntuti karena paradigma yang melekat pada orang-orang
bertaraf ekonomi lemah terkesan justru mencurigakan. dan hal ini tanpa disadari
menimbulkan rasa minder diri dan ketakutan terhadap para pengunjung ekonomi
lemah lainnya untuk berkunjung lagi. Lain halnya bagi mereka yang cenderung
berpakaian bagus, mereka akan jauh dari sorotan kecurigaan penjaga keamanan pusat
perbelanjaan. Padahal dalam filosofi berdagang pembeli adalah raja namun untuk
yang satu ini tampaknya tidak akan berlaku dan kondisi ini sungguh-sungguh
memperihatinkan.
Konsep perbelanjaan modernisasi saat ini, di kota-kota yang ada di
indonesia tanpa disadari oleh kita juga memutus rantai kesamaan konsumen dan
memutus aktivitas interaksi sosial tradisional antara penjual dengan pembeli. Semua
proses berbelanja sudah dipatok alias ditetapkan dan enggak bisa di nego lagi. Proses transaksi pun sudah tidak dilakukan
melalui interaksi secara langsung sehingga menghilangkan interaksi sosial
secara tradisonal seperti tawar-menawar, sapa-menyapa, bersenda gurau sesama
penjual dengan pembeli semua itu seakan sudah tidak ditemukan lagi di Kota-kota
Indonesia salah satunya yaitu Kota Pekanbaru.
Kondisi demikian justru menambah panjangnya rentetan penyebab timbulnya
prilaku mental masyarakat kota yang bersifat individualistis yang lebih
mementingkan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan sesama masyarakat
kota seperti hilangnya kepedulian tolong-menolong atar sesama, rasa empati.
Bandingkan jika kita berbelanja, menikmati hiburan dengan sajian ala PKL
semua konsumen terkesan sama dimata penjual baik si kaya dan si miskin dan
kondisi seperti ini membuka peluang yang besar dengan memberikan ruang yang
lebih untuk warga kota dalam melakukan interaksi/kontak
sosial sesama warga kota baik sesama penjual dengan pembeli dan sesama
pengunjung lainnya.
Tanpa harus merasa takut, khawatir dibuntuti dengan petugas kemanan yang selalu memandang sinis
para pembeli dengan taraf hidup ekonomi lemah.
Dengan demikian rasa sosial, saling mengenal yang diperoleh dari proses
interaksi sesama masyarakat perkotaan baik itu antara si kaya dan si miskin bisa
terbentuk, bersatu, membaur dan menumbuhkan jalinan rasa sosial yang baik
antara mereka.
PKL Perlu di bina bukan
dibinasahkan
Gebrakan dengan menciptakan solusi yang bersifat menang dan menang (win-win solution) tampaknya perlu
dikedepankan oleh Pemerintah Kota Pekanbaru. Masih banyak solusi yang bisa
dihadirkan guna mengakhiri polemik dengan pedagang kaki lima. Jika merujuk pada
sebuah kebijakan atau aturan pada dasarnya kebijakan tersebut akan berasal dari
masyarakat, untuk masyarakat, oleh masyarakat sendiri.
Hal ini juga sangat jelas diatur dalam konsep sebuah perencanaan yang
berujung pada terciptanya sebuah kebijakan bahwa pendekatan didalam pengambilan
kebijakan sudah sepatutnya bersifat partisipatif dengan mendengar aspirasi
masyarakat atau didalam dunia perencanaan lebih dikenal dengan Botom up planning (perencanaan yang
berasal dari bawah) bukan serta merta kebijakan harus dikendalikan atau diambil
secara Top down Planning (perencanaan
dari atas ke bawah) dalam hal ini
dominasi pemerintah lebih dikedepankan dibandingkan aspirasi masyarakat.
Tentunya hal ini sangat bertentangan dengan undang-undang dasar negara kita
jika muara semua kebijakan tidak berlandaskan aspirasi masyarakat, mengingat
didalam UUD 1945 Pasal 33 point 3 Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Secara tidak langsung ruang-ruang yang kita gunakan baik untuk jalan,
permukiman, kawasan perkantoran merupakan bagian dari bumi yang tidak
terbantahkan lagi keberadaanya.
2 Wacana sebagai alternatif polemik
PKL
Alternatif pertama: Alangkah
lebih baiknya pemerintah lebih banyak bermain pada tataran kebijakan atau
aturan seperti melakukan pembinaan terhadap para PKL. Yang pada intinya tetap
memberikan ruang kepada para PKL untuk tetap melakukan aktivitasnya dengan kaidah
dan aturan yang disepakati secara bersama-sama oleh PEMKO dan para PKL. seperti
yang dilakukan oleh negara tetangga kita yaitu Malaysia yang sukses membina PKL
mereka dengan baik dan justru kehadiran PKL disana lambat laun justru menjadi
potensi tersendiri untuk menarik perhatian wisatawan dari luar dan dalam negeri.
Jika mempelajari pola aktivitas para PKL yang ada di jalan Cut Nyak Dhien,
mereka cenderung hanya memanfaatkan ruas jalan dimalam hari. Sedangkan pada
siang harinya kondisi ruas jalan bisa kembali dikondisikan seperti semula yang
berfungsi sebagai jalan.
Ditinjau dari status fungsi jalan Cut Nyak Dhien yang digunakan para PKL pada
malam hari jika dianalisa bukan lah jenis jalan yang penggunaannya bersifat
aktif, yaitu siang dan malam arus lalu lintasnya tidak begitu tinggi seperti Jalan Jendral Sudirman
atau pun Jalan Tuanku Tambusai.
Melainkan Jalan Cut Nyak Dhien penggunaanya lebih bersifat pasif, hanya
digunakan sebagai jalur menuju kawasan pemerintahan, pendidikan yang lebih
aktif pada siang hari. Sehingga penggunaan jalan tersebut cenderung dinilai
kurang optimal kegunaanya dimalam hari, kondisi ini disebabkan karena mobilitas
arus lalu lintas yang sangat rendah terjadi dimalam hari. Dengan demikian penggunaan
jalan tersebut jika dimalam hari sangat memungkinkan untuk dialihkan dengan jalan
lain disebelahnya, yaitu jalan Cut Nyak Dhien I yang berada disamping antara
kantor Dinas Bappeda Kota Pekanbaru dan Perpustakaan Soeman Hs yang sama-sama
langsung menghubungkan jalan dibelakang bundaran taman Perpustakaan Soeman Hs
yang cenderung bisa digunakan sebagai penggantinya.
Alternatif kedua yaitu, pemerintah harus memberikan tempat/lokasi
khusus yang diperuntukan bagi para PKL dengan cara memindahkan mereka. Namun
melihat pola aktvitas para PKL yang hanya memanfaatkan ruang dimalam hari
kebijakan tersebut dinilai akan lebih memberatkan pemerintah Kota Pekanbaru karena
secara tidak langsung pemerintah akan terbebani dengan tugas mencari/menyediakan
lokasi baru dengan cara menyewa/ membeli lahan yang lokasinya strategis dan
letaknya tidak begitu jauh dari lokasi awal. Kebijakan seperti ini cukup
berhasil ketika Pemko memindahkan para padagang pasar jongkok HR. Seoebrantas
ke lokasi dibelakang MTC GIANT.
Namun kondisi jika dianalisa, nilai tambah yang menyebabkan kebijakan
pemindahan para pedagang pasar jongkok berhasil yaitu, karena lokasi lahan yang
disediakan pemerintah Kota Pekanbaru tidak begitu jauh dari tempat semula sehingga
tidak mengurangi citra pasar jongkok yang sudah terlanjur melekat selama ini
dikawasan HR. Sobrantas. Namun lain halnya jika pemindahannya dilakukan
ditempat lain yang jauh dari lokasi awal, tentunya akan banyak faktor-faktor
yang menyebabkan gagalnya kebijakan pemindahan
para pedagang pasar jongkok tersebut.
Namun terlepas dari beberapa solusi berupa alternatif diatas, tentunya
Pemko perlu kembali melakukan kajian secara lanjut dengan melakukan studi
kelayakan bersama Dinas terkait guna mempertimbangkan kembali solusi apa yang
tepat sebagai alternatif dalam menangani permasalahan PKL tersebut.
Menurut hemat penulis kebijakan yang tepat dan cermat dengan
mempertimbangkan berbagai isu persoalan dilapangan perlu diambil Pemko Kota
Pekanbaru secara cepat dan tidak membiarkannya berlarut-larut guna menghindari
semakin melabarnya permasalahan PKL tersebut kedepan. Hal ini terbukti, para
PKL semakin menjadi-jadi sampai menggelar dagangannya di depan gedung DPRD Kota
Pekanbaru. Jangan sampai permasalahan tersebut menjadi celah yang bisa
dimanfaatkan orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang memiliki kepentingan
lain dengan mengambil moment polemik antara pemerintah dan PKL.