MENUJU
KOTA TAK BERIDENTITAS
Kota
sejatinya tidaklah jauh berbeda dengan manusia. Jika manusia memerlukan sebuah
nama untuk membedakan antara manusia satu dengan manusia yang lainnya. fungsi
nama juga banyak lagi kegunaanya, mengingat nama merupakan sebuah identitas
jati diri seseorang seseorang yang diperoleh dari kesepakatan antara kedua
orang tua kita dulu kepada kita. Namun, apa kah cukup dengan menggunakan sebuah
nama saja kita sudah dengan gampangnya akan dikenal dan di ingat oleh orang?
Apalagi jika kita bertemu dengan dua orang yang memiliki nama yang serupa.
Tentunya kita akan semakin sukar pula membedaknnya bukan?
Nah,,,pastinya kita dituntut untuk
memberikan tambahan-tambahan informasi lebih detil lagi untuk membedakan dua
orang yang memiliki nama yang sama tadi tentunya. Seperti jenis kelamin, tinggi
badan, warna kulit, model rambut, bentuk kumis, logat berbicara, tahi lalat dan
masih banyak lagi cara kita untuk membedakan antara orang yang satu dengan
orang yang lain. Dengan demikian tentunya kita pasti akan semakin mudah dan
gampangnya mengenal dan membedakan dua orang tersebut.
Hal tersebut juga tidak jauh berbeda dengan sebuah Kota/Propinsi.
Jika kita mendengar nama Kota Sumatera
Barat (Sumbar) apa yang ada di fikiran kita tentang sumbar? Fikiran kita tentunya
lantas secara langsung akan membayangkan hal-hal yang cenderung dengan mudah
dan gampangnya diingat oleh semua orang bukan??, seperti simbol rumah gonjong yang
menyerupai tanduk di ujung-ujung atap bangunannya (sebutan rumah adat sumbar), Simbol
Jam gadangnya, simbol tugu penari piringnya, rumah adatnya, kondisi jalannya. Kesemuanya
itu merupakan ciri khas dari Kota/Propinsi Sumbar yang tanpa disadari oleh kita
merupakan bagian dari elemen pembentuk identitas suatu kota yang sering disebut
sebagai wajah kota. Dan itu merupakan bagian pembentuk jati diri dari
masing-masing Kota/Propinsi yang tidak akan pernah dimiliki oleh Kota/Propinsi
mana pun di negeri ini. Dan itu lah kota
yang beridentitas.
Begitu juga jika penulis menyebutkan nama Sumatera
Selatan (Palembang), tentunya kita semua akan dengan cepat membayangkan bagaimana
kondisi disana seperti adanya sebuah sungai yang membelah kotanya, adanya
sebuah jembatan yang terkenal dengan gaya dan corak arsitektural yang menjadi
kebanggaan sekaligus maskot Kota/Propinsi mereka yaitu jembatan amperanya.
Berbicara wajah Kota tentunya sangat erat keterkaitannya
dengan arsitektural kota itu sendiri siapa dan bagaimana masyarakatnya.
Jauh-jauh hari Prof. Eko budihardjo bercerita dalam bukunya yang berjudul Tata
Ruang Perkotaan (1997) beliau menyebut “kota seperti halnya arsitektural,
sering disebut sebagai cerminan budaya masyarakatnya”.
Artinya, sebuah Kota/Propinsi dapat terlihat kondisi
budayanya masih terjaga kah?, terpelihara kah?, dicintai kah oleh masyarakatnya,
Kepala Daerahnya. kesemua itu bisa terlihat dari corak-corak bangunan yang ada
di Kota/Propinsi tersebut.
Jika semakin sulit ditemukannya arsitektural khas suatu
Kota/Propinsi, tentunya semakin mulai terasa pula mumudarnya identitas budaya
dari suatu kota. Keacuhan dan ketidak pedulian warga kotanya juga turut
memberikan indikasi budaya suatu kota/Propinsi yang mulai ditinggalkan terlebih
lagi oleh kepala daerahnya itu sendiri yang seharusnya menjadi garda terdepan
dalam menjaga, melindungi hasil nilai-nilai kebudayaan, kearifan lokal di daerahnya
sendiri yang di ekspresikan lewat corak arsitektural asli daerahnya. namun
terkadang justru sang kepala daerah pula
yang menjadi oktor utama dibalik hilangnya identitas suatu kota.
Wajah
Kota Pekanbaru hari ini
Ditengah Hiruk pikuknya pembangunan Kota Pekanbaru
sebagai pusat ibu Kota Propinsi Riau dan juga sebagai pusat Pemerintahan Kota
Pekanbaru, secara tidak langsung menjadikan Kota Pekanbaru sebagai barometer
penilaian utama orang luar terhadap Riau.
Bagaimana kesan tersebut tercipta tentunya tidak terlepas
dari bagaimana wajah kotanya. perkembangan pembangunan di Kota Pekanbaru tampaknya
belakangan ini mulai mengarah kepada pembangunan gedung-gedung yang berbau modernisasi
ala luar negeri yang sengaja ataupun memang benar-benar sengaja tidak
menyematkan nilai-nilai, unsur arsitektural budaya melayu yang merupakan ciri
khas kebanggaan dari warga melayu Riau.
Selembayung berwarna kuning cantik nan elok ditambah ukiran
yang menawan tidak pernah lepas dari corak yang sengaja disematkan disetiap
model bangunan khas Riau, itu pun hanya disematkan pada bangunan-bangunan lama
milik pemerintah yang lambat laun juga akan mengalami nasib yang menyedihkan yaitu
dibongkar dan diganti dengan model bangunan yang baru.
Bangunan-bangunan milik pemerintah sendiri seperti Gedung
Perpustakaan Soeman Hs yang kebesaran rangka, Gedung sembilan lantai nan megah
serta canggih berbalutkan kaca disamping kantor Gubernuran, Gedung Bank Riau
Kepri yang tak kalah berkaca-kacanya, dan yang terakhir adalah Kantor milik
Dinas Pekerjaan Umum (PU) di Arengka dua yang tak kalah canggih dan hebatnya dengan
gedung sembilan lantai disamping gubernuran.
Kondisi tersebut menurut penulis, ini merupakan pertanda
mulai terlihatnya selera pemimpin negeri kita saat ini kepada arsitektural yang
berbau kenegri-negrian luar, milik orang luar dibandingkan kecintaan mereka
terhadap arsitektural asli Riau itu sendiri. dan hal ini patut kita
pertanyakan. Ada apa dengan arsitektural budaya melayu Riau? Kian hari kian dizolimi,
dicampakkan dan kian hari kian ditinggalkan. Apakah kemajuan harus di ukur dari
tingkat kecanggihan dan kemelekan pemerintah yang dengan gampangnya mengadopsi
arsitektural bergaya luar negeri biar enggak dianggap kuno atau ndeso?? Atau
kepala daerah tersebut menganggap gaya arsitektural milik negeri tetangga atau
negara-negara di Barat, Eropa bahkan di Timur tengah sana jauh lebih bagus dan
mantap sementara corak arsitektural bangunan khas Suku asli melayu Riau dianggap
kuno dan tak elok?? Lantas dengan mudahnya begitu saja
membongkar, merombak bangunan-bangunan asli berciri khas kan arsitektural
melayu Riau yang memiliki nilai sejarah kehistorisan tinggi dari nenek moyang suku
asli melayu Riau sendiri.
Kita patut mempertanyakan mengapa pemerintah kita lebih
suka mengikut-ikuti gaya arsitektural hasil karya budaya negara orang lain
diluar sana. Yang tidak ada sangkut paut, hubungannya sama sekali dengan latar
belakang kehistorisan arsitektural budaya melayu Riau. Kesan yang tercipta jika
kita terlalu membanggakan sampai dengan mengadopsi gaya arsitektural milik
orang, kita terkesan seperti orang yang tidak memiliki jati diri, seperti orang
yang tidak punya sejarah kebudayaan masa lalu.
Peng-copy paste-an
arsitektural bergaya luar negeri justru hanya akan membuat kebingungan para
pendatang yang berasal dari luar kota melihat wajah Kota/Propinsi kita yang
mirip dan serupa dengan negara luar disana. Terlebih lagi jika perubahan gaya
arsitektur itu dilakukan pada kantor utama milik sang kepala daerah sebagai
pusat utama pemerintahan tertinggi di Riau yang belakangan ini menjadi polemik
ditengah masyarakat. Lantas mereka pun bertanya, “apa hubungan Riau dengan gaya
arsitektural negara luar yang terlihat dari bangunan-bangunan yang ada di Kota
Pekanbaru?” dengan kondisi ini juga meberikan kesan secara tidak langsung tanpa
disadari ini merupakan pemutusan mata rantai sejarah arsitektural asli Riau
secara perlahan-lahan.
Jadi jangan heran jika suatu saat nanti orang beranggapan
setiap kali datang ke Kota Pekanbaru sebagai pusat pemerintahan Propinsi Riau
serasa menginjakan kakinya dinegeri eropa atau Timur Tengah atau bahkan serasa
di Amerika yang terkenal dengan gedung putih (white house) kediaman milik Presiden Amerika Serikat di
Washington, DC yang ada kubah-kubah putih diatas gedungnya. Karena orang menganggap arsitektural
Riau mirip alias sama dengan yang diluar sana. Kalau lah sudah mirip tentunya
tidak ada kesan yang mengena dihati para pendatang mengenai Riau. Padahal perbedaan yang kental
dan menonjol yang dimiliki setiap Kota/Propinsi di seluruh negara di belahan
bumi ini seharusnya yang menjadi sebuah kebanggan, karena Kota/Propinsi ini
berani menunjukan karakter jati dirinya yang berasal dari unsur budaya lokal
asli tempatan.
Patut menangis sembari bersedih hati mungkin adalah ekspresi yang jelas tergambar
dari raup wajah mereka almarhum nenek moyang kita, orang tua kita sebagai pejuang,
pencipta budaya-budaya melayu Riau yang bersusah payah, bergelut dengan waktu
berpuluh-puluh tahun memikirkan, menciptakan
memadukan budaya asli melayu Riau dengan nilai-nilai kesejarahan yang
sesuai dengan kepribadian suku melayu, agama, adat istiadat, nilai-nilai
kearifan lokal sebagai identitas yang kelak akan diwariskan kepada generasi
mendatang.
Padahal
gedung-gedung canggih yang
merupakan produk riset para ilmuwan dibidang rekayasa arsitektural moderen
zaman sekarang sejatinya sebuah karya monumental yang sekilas sangat
mengaggumkan namun sebenarnya mereka adalah gedung-gedung kosong yang tidak
bermarwah, tidak berbudaya, tidak beridentitas akibat tidak diketahuinya
sejarah masalalu peradaban arsitektur nenek moyangnya.
Limited itu yang Tidak Ternilai
Harganya
Mungkin Negara seperti Singapura boleh bangga dengan
gedung Marina Bay Sand nya yang melintang
bak sebuah kapal yang ditopang oleh tiga gedung super dibawahnya ibarat kapal diatas
langit. Tapi sadarkah kita, singapura sebenarnya negara yang maju korban pengadopsi
unsur arsitektural modrenisai berbasis teknologi tinggi yang mengusung konsep
kota hijau (city in a garden) hingga semua
mata dunia seakan dibuat buta dengan mahakarya agung arsitektural modern mereka.
Dan semua orang banyak yang berharap bisa datang, tinggal dan hidup disana.
Tapi kita tidak pernah berfikir kalau sejatinya mereka
adalah negara yang (maaf) sangat miskin dan yatim piatu. Mengingat mereka seperti orang
yang tidak tahu asal-usul asli dirinya, siapa jati diri asli bangsanya, siapa nenek
moyang asli bangsanya? Masih adakah jejak peninggalan dari nenek moyangnya
dalam bentuk budaya seperti arsitektural peninggalan nenek moyang suku mereka
yang dijaga dan diwariskan secara turun menurun oleh generasi mereka?? Justru
yang ada hanya bangunan-bangunan, gedung-gedung canggih yang dirancang dan
didesain oleh para ilmuan arsitektur abad dua puluh satu
saat ini.
Melihat fenomena yang terjadi di negara tersebut, rasanya
kita patut bersyukur dan seharusya bangga dengan apa yang kita miliki saat ini.
Kita diwarisi karya arsitektural budaya asli milik suku melayu kita. Dan yang
lebih penting lagi kita bukan termasuk kedalam golongan (maaf) Yatim piatu yang
tidak tahu siapa orang tuanya, nenek moyangnya sejak lahir sehingga wajar saja
seperti Negara Singapura tidak tahu bagaimana kebudayaan warisan nenek
moyangnya? Mereka seperti kehilangan jati diri bangsanya sediri.
Sementara kita di Riau sudah sepatutnya bersyukur hingga
detik ini masih ada budaya dan kebudayaan melayu Riau yang masih terjaga meskipun
terseok-seok penjagaanya akibat derasnya gempuran budaya asing ditambah lagi
dengan semakin tingginya keheterogenan suku di Kota Pekanbaru. Jikalah sudah demikian, seharusnya kita seluruh stakeholder baik Pemerintah, masyarakat,
Tokoh Lembaga Adat, akademisi, praktisi, swasta, bersama-sama, berjuang, bahu membahu turut serta menumbuhkan rasa
kecintaan dan rasa memiliki terhadap warisan kebudayaan melayu itu sendiri. salah
satu caranya bisa dengan mengaplikasikan gaya arsitektur bangunan warisan nenek
moyang melayu kita dengan konsep-konsep bangunan moderen masa kini, sehingga
semoderen apa pun zaman. wajah kota kita
kedepan tetap memiliki kepribadian dan jati diri yang kuat yang tetap melekat
erat sebagai identitas asli Riau.
Jangan pula kita lebih tertarik oleh hasil budaya dan
karya dari negara orang diluar sana. Jika kita lebih cinta dan terpesona akan
kecantikan arsitektur luar tentu kita patut mempertanyakan dimana asal muasal
kita sebagai orang melayu yang menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal milik
kita sendiri? terlebih bagi sang kepala daerah itu sendiri yang terkadang justru
malah menjadi dalang utama dibalik rusaknya jati diri suatu Kota/Propinsi
dengan kebijakan-kebijakan pribadinya saja.
Mungkin kedepan
kita perlu belajar mengadopsi filosofi dari seorang kolektor barang antik.
Mereka tidak pernah memikirkan seberapa besar harus mengeluarkan uang atau
materi untuk memperoleh sebuah hasil karya atau peninggalan kebudayaan nenek
moyang yang menurut dirinya sangat begitu berharga dan tidak akan mungkin bisa
diciptakan lagi dizaman sekarang, karena dia tahu ini akan terbatas dan wajar
saja para kolektor tidak akan pernah bisa menilai atau mengukur hasil warisan
kebudayaan dengan materi yang banyak sekalipun karena barang antik merupakan
sesuatu yang tak ternilai harganya.
Perencanaan
Harus bersifat Buttom up bukan Top Down saja.
Mungkin kita harusnya belajar dari permasalahan dimasa
lalu dan jangan sampai terulang kembali dimasa yang akan datang. Seperti kasus
ketidak setujuannya masyarakat, Tokoh Lembaga Adat, Akademisi, Praktisi
terhadap kebijakan pembangunan tugu bahenolnya
(plesetan nama tugu titik NOL) pada masa kepemimpinan Gubernur Ruzli Zainal
yang terletak dibundaran depan alun-alun Gubernuran. Alih-alih ingin
mengekspresikan dua orang penari zapin Riau dalam bentuk patung namun pada
akhirnya banyak menuai kritik dan protes. Hal ini dirasa sangat wajar, artinya
Pemerintah dianggap gagal melakukan pendekatan dalam kaidah perencanaan sebenarnya
yang hanya mengakomodir kemauan
pemerintah saja (Top Down Planning) sehingga
terkesan arogan tanpa mau mengakomodir pendapat, partisipasi dari masyarakat,
Tokoh Lembaga Adat, Akademisi, Praktisi. Akibat adanya ketidak cocokan antara
nilai-nilai yang ter-ekspresikan dari
karya patung tersebut yang kurang memuatkan unsur, nilai-nilai agama, kearifan lokal
dalam khasanah budaya Riau.
Kedepan apapun kebijakan perencanaan pembangunan sudah
semestinya mengadopsi prinsip perencanaan berbasis partisipasif (Buttom up Planning) karena sejatinya
perencanaan sudah seharusnya menganut konsep berasal dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat pula. Dan bukan untuk kepentingan perorangan semata. Sudah
sepatutnya kita lebih bangga dengan hasil karya budaya arsitektural buatan
nenek moyang kita yang tidak dimiliki oleh Kota/Propinsi/Negara mana pun di dunia
ini dengan menjadikannya sebagai identitas jati diri Kota
kita. Kebanggaan kita terhadap hasil karya orang diluar sana justru hanya akan
menjadikan awal kehancuran dan penyebab hilangnya identitas asli budaya kita
sendiri.
Filosofi melayu “Dimana bumi dipijak disitulah langit
dijunjung, tak-kan hilang melayu di bumi” sudah sepatutnya kita junjung tinggi sebagai
konsep dasar berfir dalam melakukan perencanaan terlebih lagi perencanaan yang
mengandung unsur nilai-nilai kearifan lokal.
dengan demikian harapan
kita semua, Riau kedepan akan menjadi Riau yang beridentitas identitas yang jelas yang tercermin dari ragam
arsitektural asli milik kita sendiri sehingga Riau akan menjadi negeri yang
berjati diri dan bermarwah melayu melalui wajah kotanya.