Laman

Sabtu, 19 April 2014

MENUJU KOTA TAK BERIDENTITAS



MENUJU KOTA TAK BERIDENTITAS


            Kota sejatinya tidaklah jauh berbeda dengan manusia. Jika manusia memerlukan sebuah nama untuk membedakan antara manusia satu dengan manusia yang lainnya. fungsi nama juga banyak lagi kegunaanya, mengingat nama merupakan sebuah identitas jati diri seseorang seseorang yang diperoleh dari kesepakatan antara kedua orang tua kita dulu kepada kita. Namun, apa kah cukup dengan menggunakan sebuah nama saja kita sudah dengan gampangnya akan dikenal dan di ingat oleh orang? Apalagi jika kita bertemu dengan dua orang yang memiliki nama yang serupa.
Tentunya kita akan semakin sukar pula membedaknnya bukan? Nah,,,pastinya  kita dituntut untuk memberikan tambahan-tambahan informasi lebih detil lagi untuk membedakan dua orang yang memiliki nama yang sama tadi tentunya. Seperti jenis kelamin, tinggi badan, warna kulit, model rambut, bentuk kumis, logat berbicara, tahi lalat dan masih banyak lagi cara kita untuk membedakan antara orang yang satu dengan orang yang lain. Dengan demikian tentunya kita pasti akan semakin mudah dan gampangnya mengenal dan membedakan dua orang tersebut.

Hal tersebut juga tidak jauh berbeda dengan sebuah Kota/Propinsi. Jika kita mendengar  nama Kota Sumatera Barat (Sumbar) apa yang ada di fikiran kita tentang sumbar? Fikiran kita tentunya lantas secara langsung akan membayangkan hal-hal yang cenderung dengan mudah dan gampangnya diingat oleh semua orang bukan??, seperti simbol rumah gonjong yang menyerupai tanduk di ujung-ujung atap bangunannya (sebutan rumah adat sumbar), Simbol Jam gadangnya, simbol tugu penari piringnya, rumah adatnya, kondisi jalannya. Kesemuanya itu merupakan ciri khas dari Kota/Propinsi Sumbar yang tanpa disadari oleh kita merupakan bagian dari elemen pembentuk identitas suatu kota yang sering disebut sebagai wajah kota. Dan itu merupakan bagian pembentuk jati diri dari masing-masing Kota/Propinsi yang tidak akan pernah dimiliki oleh Kota/Propinsi mana pun di negeri ini.  Dan itu lah kota yang beridentitas.
Begitu juga jika penulis menyebutkan nama Sumatera Selatan (Palembang), tentunya kita semua akan dengan cepat membayangkan bagaimana kondisi disana seperti adanya sebuah sungai yang membelah kotanya, adanya sebuah jembatan yang terkenal dengan gaya dan corak arsitektural yang menjadi kebanggaan sekaligus maskot Kota/Propinsi mereka yaitu jembatan amperanya.

Berbicara wajah Kota tentunya sangat erat keterkaitannya dengan arsitektural kota itu sendiri siapa dan bagaimana masyarakatnya. Jauh-jauh hari Prof. Eko budihardjo bercerita dalam bukunya yang berjudul Tata Ruang Perkotaan (1997) beliau menyebut “kota seperti halnya arsitektural, sering disebut sebagai cerminan budaya masyarakatnya”.
Artinya, sebuah Kota/Propinsi dapat terlihat kondisi budayanya masih terjaga kah?, terpelihara kah?, dicintai kah oleh masyarakatnya, Kepala Daerahnya. kesemua itu bisa terlihat dari corak-corak bangunan yang ada di Kota/Propinsi tersebut.
Jika semakin sulit ditemukannya arsitektural khas suatu Kota/Propinsi, tentunya semakin mulai terasa pula mumudarnya identitas budaya dari suatu kota. Keacuhan dan ketidak pedulian warga kotanya juga turut memberikan indikasi budaya suatu kota/Propinsi yang mulai ditinggalkan terlebih lagi oleh kepala daerahnya itu sendiri yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga, melindungi hasil nilai-nilai kebudayaan, kearifan lokal di daerahnya sendiri yang di ekspresikan lewat corak arsitektural asli daerahnya. namun terkadang  justru sang kepala daerah pula yang menjadi oktor utama dibalik hilangnya identitas suatu kota.

Wajah Kota Pekanbaru hari ini

Ditengah Hiruk pikuknya pembangunan Kota Pekanbaru sebagai pusat ibu Kota Propinsi Riau dan juga sebagai pusat Pemerintahan Kota Pekanbaru, secara tidak langsung menjadikan Kota Pekanbaru sebagai barometer penilaian utama orang luar terhadap Riau.
Bagaimana kesan tersebut tercipta tentunya tidak terlepas dari bagaimana wajah kotanya. perkembangan pembangunan di Kota Pekanbaru tampaknya belakangan ini mulai mengarah kepada pembangunan gedung-gedung yang berbau modernisasi ala luar negeri yang sengaja ataupun memang benar-benar sengaja tidak menyematkan nilai-nilai, unsur arsitektural budaya melayu yang merupakan ciri khas kebanggaan dari warga melayu Riau.
Selembayung berwarna kuning cantik nan elok ditambah ukiran yang menawan tidak pernah lepas dari corak yang sengaja disematkan disetiap model bangunan khas Riau, itu pun hanya disematkan pada bangunan-bangunan lama milik pemerintah yang lambat laun juga akan mengalami nasib yang menyedihkan yaitu dibongkar dan diganti dengan model bangunan yang baru.
Bangunan-bangunan milik pemerintah sendiri seperti Gedung Perpustakaan Soeman Hs yang kebesaran rangka, Gedung sembilan lantai nan megah serta canggih berbalutkan kaca disamping kantor Gubernuran, Gedung Bank Riau Kepri yang tak kalah berkaca-kacanya, dan yang terakhir adalah Kantor milik Dinas Pekerjaan Umum (PU) di Arengka dua yang tak kalah canggih dan hebatnya dengan gedung sembilan lantai disamping gubernuran.

Kondisi tersebut menurut penulis, ini merupakan pertanda mulai terlihatnya selera pemimpin negeri kita saat ini kepada arsitektural yang berbau kenegri-negrian luar, milik orang luar dibandingkan kecintaan mereka terhadap arsitektural asli Riau itu sendiri. dan hal ini patut kita pertanyakan. Ada apa dengan arsitektural budaya melayu Riau? Kian hari kian dizolimi, dicampakkan dan kian hari kian ditinggalkan. Apakah kemajuan harus di ukur dari tingkat kecanggihan dan kemelekan pemerintah yang dengan gampangnya mengadopsi arsitektural bergaya luar negeri biar enggak dianggap kuno atau ndeso?? Atau kepala daerah tersebut menganggap gaya arsitektural milik negeri tetangga atau negara-negara di Barat, Eropa bahkan di Timur tengah sana jauh lebih bagus dan mantap sementara corak arsitektural bangunan khas Suku asli melayu Riau dianggap kuno dan tak elok?? Lantas dengan mudahnya begitu saja membongkar, merombak bangunan-bangunan asli berciri khas kan arsitektural melayu Riau yang memiliki nilai sejarah kehistorisan tinggi dari nenek moyang suku asli melayu Riau sendiri.
Kita patut mempertanyakan mengapa pemerintah kita lebih suka mengikut-ikuti gaya arsitektural hasil karya budaya negara orang lain diluar sana. Yang tidak ada sangkut paut, hubungannya sama sekali dengan latar belakang kehistorisan arsitektural budaya melayu Riau. Kesan yang tercipta jika kita terlalu membanggakan sampai dengan mengadopsi gaya arsitektural milik orang, kita terkesan seperti orang yang tidak memiliki jati diri, seperti orang yang tidak punya sejarah kebudayaan masa lalu.
Peng-copy paste-an arsitektural bergaya luar negeri justru hanya akan membuat kebingungan para pendatang yang berasal dari luar kota melihat wajah Kota/Propinsi kita yang mirip dan serupa dengan negara luar disana. Terlebih lagi jika perubahan gaya arsitektur itu dilakukan pada kantor utama milik sang kepala daerah sebagai pusat utama pemerintahan tertinggi di Riau yang belakangan ini menjadi polemik ditengah masyarakat. Lantas mereka pun bertanya, “apa hubungan Riau dengan gaya arsitektural negara luar yang terlihat dari bangunan-bangunan yang ada di Kota Pekanbaru?” dengan kondisi ini juga meberikan kesan secara tidak langsung tanpa disadari ini merupakan pemutusan mata rantai sejarah arsitektural asli Riau secara perlahan-lahan.
Jadi jangan heran jika suatu saat nanti orang beranggapan setiap kali datang ke Kota Pekanbaru sebagai pusat pemerintahan Propinsi Riau serasa menginjakan kakinya dinegeri eropa atau Timur Tengah atau bahkan serasa di Amerika yang terkenal dengan gedung putih (white house) kediaman milik Presiden Amerika Serikat di Washington, DC yang ada kubah-kubah putih diatas gedungnya. Karena orang menganggap arsitektural Riau mirip alias sama dengan yang diluar sana. Kalau lah sudah mirip tentunya tidak ada kesan yang mengena dihati para pendatang  mengenai Riau. Padahal perbedaan yang kental dan menonjol yang dimiliki setiap Kota/Propinsi di seluruh negara di belahan bumi ini seharusnya yang menjadi sebuah kebanggan, karena Kota/Propinsi ini berani menunjukan karakter jati dirinya yang berasal dari unsur budaya lokal asli tempatan.

Patut menangis sembari bersedih hati  mungkin adalah ekspresi yang jelas tergambar dari raup wajah mereka almarhum nenek moyang kita, orang tua kita sebagai pejuang, pencipta budaya-budaya melayu Riau yang  bersusah payah, bergelut dengan waktu berpuluh-puluh tahun memikirkan, menciptakan  memadukan budaya asli melayu Riau dengan nilai-nilai kesejarahan yang sesuai dengan kepribadian suku melayu, agama, adat istiadat, nilai-nilai kearifan lokal sebagai identitas yang kelak akan diwariskan kepada generasi mendatang.  
Padahal gedung-gedung canggih yang merupakan produk riset para ilmuwan dibidang rekayasa arsitektural moderen zaman sekarang sejatinya sebuah karya monumental yang sekilas sangat mengaggumkan namun sebenarnya mereka adalah gedung-gedung kosong yang tidak bermarwah, tidak berbudaya, tidak beridentitas akibat tidak diketahuinya sejarah masalalu peradaban arsitektur nenek moyangnya.

Limited itu yang Tidak Ternilai Harganya

Mungkin Negara seperti Singapura boleh bangga dengan gedung Marina Bay Sand nya yang melintang bak sebuah kapal yang ditopang oleh tiga gedung super dibawahnya ibarat kapal diatas langit. Tapi sadarkah kita, singapura sebenarnya negara yang maju korban pengadopsi unsur arsitektural modrenisai berbasis teknologi tinggi yang mengusung konsep kota hijau (city in a garden) hingga semua mata dunia seakan dibuat buta dengan mahakarya agung arsitektural modern mereka. Dan semua orang banyak yang berharap bisa datang, tinggal dan hidup disana.
Tapi kita tidak pernah berfikir kalau sejatinya mereka adalah negara yang (maaf) sangat miskin dan  yatim piatu. Mengingat mereka seperti orang yang tidak tahu asal-usul asli dirinya, siapa jati diri asli bangsanya, siapa nenek moyang asli bangsanya? Masih adakah jejak peninggalan dari nenek moyangnya dalam bentuk budaya seperti arsitektural peninggalan nenek moyang suku mereka yang dijaga dan diwariskan secara turun menurun oleh generasi mereka?? Justru yang ada hanya bangunan-bangunan, gedung-gedung canggih yang dirancang dan didesain oleh para ilmuan arsitektur abad dua puluh satu saat ini.

Melihat fenomena yang terjadi di negara tersebut, rasanya kita patut bersyukur dan seharusya bangga dengan apa yang kita miliki saat ini. Kita diwarisi karya arsitektural budaya asli milik suku melayu kita. Dan yang lebih penting lagi kita bukan termasuk kedalam golongan (maaf) Yatim piatu yang tidak tahu siapa orang tuanya, nenek moyangnya sejak lahir sehingga wajar saja seperti Negara Singapura tidak tahu bagaimana kebudayaan warisan nenek moyangnya? Mereka seperti kehilangan jati diri bangsanya sediri.
Sementara kita di Riau sudah sepatutnya bersyukur hingga detik ini masih ada budaya dan kebudayaan melayu Riau yang masih terjaga meskipun terseok-seok penjagaanya akibat derasnya gempuran budaya asing ditambah lagi dengan semakin tingginya keheterogenan suku di Kota Pekanbaru. Jikalah sudah demikian, seharusnya kita seluruh stakeholder baik Pemerintah, masyarakat, Tokoh Lembaga Adat, akademisi, praktisi, swasta, bersama-sama, berjuang,  bahu membahu turut serta menumbuhkan rasa kecintaan dan rasa memiliki terhadap warisan kebudayaan melayu itu sendiri. salah satu caranya bisa dengan mengaplikasikan gaya arsitektur bangunan warisan nenek moyang melayu kita dengan konsep-konsep bangunan moderen masa kini, sehingga semoderen apa pun zaman.  wajah kota kita kedepan tetap memiliki kepribadian dan jati diri yang kuat yang tetap melekat erat sebagai identitas asli Riau.
Jangan pula kita lebih tertarik oleh hasil budaya dan karya dari negara orang diluar sana. Jika kita lebih cinta dan terpesona akan kecantikan arsitektur luar tentu kita patut mempertanyakan dimana asal muasal kita sebagai orang melayu yang menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal milik kita sendiri? terlebih bagi sang kepala daerah itu sendiri yang terkadang justru malah menjadi dalang utama dibalik rusaknya jati diri suatu Kota/Propinsi dengan kebijakan-kebijakan pribadinya saja.

Mungkin kedepan kita perlu belajar mengadopsi filosofi dari seorang kolektor barang antik. Mereka tidak pernah memikirkan seberapa besar harus mengeluarkan uang atau materi untuk memperoleh sebuah hasil karya atau peninggalan kebudayaan nenek moyang yang menurut dirinya sangat begitu berharga dan tidak akan mungkin bisa diciptakan lagi dizaman sekarang, karena dia tahu ini akan terbatas dan wajar saja para kolektor tidak akan pernah bisa menilai atau mengukur hasil warisan kebudayaan dengan materi yang banyak sekalipun karena barang antik merupakan sesuatu yang tak ternilai harganya.
Perencanaan Harus bersifat Buttom up bukan Top Down saja.

Mungkin kita harusnya belajar dari permasalahan dimasa lalu dan jangan sampai terulang kembali dimasa yang akan datang. Seperti kasus ketidak setujuannya masyarakat, Tokoh Lembaga Adat, Akademisi, Praktisi terhadap kebijakan pembangunan tugu bahenolnya (plesetan nama tugu titik NOL) pada masa kepemimpinan Gubernur Ruzli Zainal yang terletak dibundaran depan alun-alun Gubernuran. Alih-alih ingin mengekspresikan dua orang penari zapin Riau dalam bentuk patung namun pada akhirnya banyak menuai kritik dan protes. Hal ini dirasa sangat wajar, artinya Pemerintah dianggap gagal melakukan pendekatan dalam kaidah perencanaan sebenarnya yang hanya  mengakomodir kemauan pemerintah saja (Top Down Planning) sehingga terkesan arogan tanpa mau mengakomodir pendapat, partisipasi dari masyarakat, Tokoh Lembaga Adat, Akademisi, Praktisi. Akibat adanya ketidak cocokan antara nilai-nilai yang ter-ekspresikan dari karya patung tersebut yang kurang memuatkan unsur, nilai-nilai agama, kearifan lokal dalam khasanah budaya Riau.

Kedepan apapun kebijakan perencanaan pembangunan sudah semestinya mengadopsi prinsip perencanaan berbasis partisipasif (Buttom up Planning) karena sejatinya perencanaan sudah seharusnya menganut konsep berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat pula. Dan bukan untuk kepentingan perorangan semata. Sudah sepatutnya kita lebih bangga dengan hasil karya budaya arsitektural buatan nenek moyang kita yang tidak dimiliki oleh Kota/Propinsi/Negara mana pun di dunia ini dengan menjadikannya sebagai identitas jati diri Kota kita. Kebanggaan kita terhadap hasil karya orang diluar sana justru hanya akan menjadikan awal kehancuran dan penyebab hilangnya identitas asli budaya kita sendiri.

Filosofi melayu “Dimana bumi dipijak disitulah langit dijunjung, tak-kan hilang melayu di bumi”  sudah sepatutnya kita junjung tinggi sebagai konsep dasar berfir dalam melakukan perencanaan terlebih lagi perencanaan yang mengandung unsur nilai-nilai kearifan lokal.
dengan demikian harapan kita semua, Riau kedepan akan menjadi Riau yang beridentitas  identitas yang jelas yang tercermin dari ragam arsitektural asli milik kita sendiri sehingga Riau akan menjadi negeri yang berjati diri dan bermarwah melayu melalui wajah kotanya.

Sabtu, 12 April 2014

Air Minum isi ulang ala warga Kota, sudah amankah??



Air Minum isi ulang ala warga Kota, sudah amankah??

Merebaknya usaha depot-depot pengisian air minum isi ulang di hampir setiap Kabupaten dan Kota belakangan ini cukup menarik perhatian kita bersama. Terlebih lagi di Kota Pekanbaru sendiri, sehingga bukan perkara yang sulit lagi untuk menemukan depot-depot pengisian air galon di Kota bertuah ini, Hampir disetiap tempat kita dengan mudah menemukannya. Terlebih lagi pada kawasan-kawasan disekitar kampus dan kawasan disekitar permukiman penduduk.

 Tentunya kita terkadang sempat bertanya-tanya. “Sebegitu gampangkah memperoleh izin dari Dinas terkait untuk membuka usaha isi ulang air minum galon?, bagaimana pula standar teknis usaha tersebut bisa dikatakan layak operasional dilapangan sehingga memperoleh izin? Lantas seberapa rutinkah pemantauan Dinas terkait dalam memantau usaha ini dilapangan?”.

Pertanyaan-pertanyaan diatas tentunya terkadang menjadi bahan pertanyaan masyarakat dilapangan. Mana kala menemui kualitas air minum yang dibeli masih terdapat beberapa standar umum air minum yang tidak layak konsumsi. Seperti adanya air minum yang berbau tanah, dan berbau kandungan zat-zat lain, meskipun dari segi kualitas warna tampak memenuhi standar namun kondisi seperti itu sudah layak kah diberikan izin?? Heheehe,,, entah lah hanya Tuhan yang tahu.

Berdasarkan kondisi dilapangan terkadang sebagai masyarakat kita menggeleng-gelengkan kepala sambil terheran-heran sendiri. mana kala terkaget-kaget melihat beberapa depot pengisian air minum isi ulang yang ditemui menggunakan alat-alat yang terkesan kurang menjamin standar, kualitas dari sebuah depot pengisian air minum. seperti penggunaan tong penampungan air sumur bor berwarna orange yang sering digunakan untuk  penampung air dirumah-rumah masyarakat pada umumnya, penggunaan selang yang digunakan untuk menyalurkan air langsung kedalam galon,  belum lagi ada beberapa oknum pelaku usaha pengisi air minum yang mencoba mengakal-akali alias menipu konsumen dengan bermodalkan lemari kaca alumunium dan dilengkapi penerangan berupa lampu biru. Alih-alih dengan tujuan memberikan kesan air yang dihasilakan melewati proses ultraviolet. Sehingga air yang dihasilkan dianggap sudah melewati proses yang ketat bak air minum yang berstadar tinggi ala perusahaan air minum mineral pada umumnya.

Tapi apakah benar semua pemilik izin usaha depot isi ulang air minum ini menggunakan alat ultraviolet?? yang “katanya” digunakan untuk membenuh bakteri dan kuman yang terkandung didalam air. Namun pada realitanya dilapangan banyak juga para pemilik yang mengakal-ngakalinya dengan menggunakan alat ultraviolet abal-abal alias palsu. Bermodal lampu biru yang ditempatkan didalam lemari kaca sudah dianggap “sebelas dua belas deh.. dengan ultraviolet yang asli”.
Jika sudah demikian kondisinya. Lantas, bagaimana pula surat izin edar air minum yang dikeluarkan Dinas terkait itu bisa dikeluarkan begitu saja dan terpampang disetiap dinding para pemilik depot air isi ulang??
Maraknya usaha depot isi ulang air minum sampai hari ini terkesan jauh dari pengawasan yang ketat oleh dinas yang terkait dan seakan dengan gampangnya mengeluarkan izin begitu saja.
Padahal jika kita mengacu dan mengikuti secara baik dan benar peraturan yang dikeluarkan berdasarkan keputusan menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/xi/2002 tentang persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan industri. Terdapat beberapa Parameter kualitas air bersih yang ditetapkan dalam PERMENKES 416/1990 yang terdiri atas persyaratan fisik, persyaratan kimiawi, persyaratan mikrobiologis diantaranya sebagai berikut:
1.       Persyaratan fisik: Persyaratan fisik yang harus dipenuhi pada air minum yaitu harus jernih, tidak berbau, tidak berasa dan tidak berwarna.
2.       Persyaratan kimia: Dari aspek kimiawi, bahan air minum tidak boleh mengandung partikel serta logam berat (misalnya Hg, Ni, Pb, Zn, dan Ag) atau pun zat beracun seperti senyawa hidrokarbon dan detergen. Ion logam dapat dapat mengendap dan tertimbun diberbagai organ terutama salurAn cerna hati, dan ginjal maka organ-organ inilah yang terutama rusak.
3.       Persyaratan Mikrobiologis: Nakteri patogen yang tercantum dalam kepmenkes yaitu Escherichia colli, Clostridium perfringens, salmonella,

Dari beberapa kriteria yang dijelaskan diatas, begitu sangat berbahanya dampak yang bisa ditimbulkan dari air minum isi ulang jika air yang beredar dan dikonsumsi oleh masyarakat. terutama kandungan yang terdapat didalam air minum tersebut yang mengandung ion-ion logam yang dijelaskan dapat merusak fungsi vital organ-organ didalam tubuh kita. Mungkin dampak yang bisa dilihat dalam jangka pendek bagi masyarakat yang mengkonsumsinya belum bisa terlihat, namun dampaknya dalam jangka panjang lambat laun pasti akan dirasakan bagi masyarakat pengkonsumsi air tersebut.
Dan permasalahan ini sungguh sangat mengkhawatirkan, terkesan luput dari perhatian kita bersama terlebih mengenai pengawasan standar baku mutu air minum layak konsumsi yang masih belum diketahui secara baik dan benar oleh masyarakat kita secara menyeluruh terutama bagi para pemilik depot pengisian air minum tersebut. seakan air minum yang layak dikonsumsi oleh masyarakat bisa dengan gampangnya diperoleh dengan hanya bermodalkan  sumur bor.

Fenomena ini secara tidak  langsung merupakan bagian dari dampak adanya tuntutan hidup sebagai warga kota yang menuntut warganya untuk memperoleh sesuatu dengan cara yang serba instan namun kondisinya tidak pernah kita sadari mengingat kecendrungan warga kota yang hari-harinya selalu dikejar-kejar oleh waktu. Bahkan hari-harinya terkadang habis tercurahkan hanya untuk bekerja dan bekerja. Lantas persoalan air minum ini pun, bagi sebagian warga kota pun tidak menjadi suatu hal yang dianggap penting dan juga serius.     
Terlebih lagi, keterkaitan antara air dan manusia dalam hidup sejatinya merupakan dua hal yang tidak bisa terpisahkan. Sehingga wajar saja terkadang tidak jarang kita menemui slogan “air sumber kehidupan”. Artinya air sangat berperan penting dalam menunjang keberlangsungan hidup seluruh makhluk hidup terlebih lagi bagi manusia.
Sehingga dalam disiplin ilmu yang berkaitan dengan perencanaan wilayah dan kota (urban and regional planning) menempatkan air sebagai utilitas/kebutuhan dasar manusia. Karena air merupakan kebutuhan yang vital bagi hidup manusia.

Faktor-faktor tersebut yang dianggap sebagai peluang bagi sebagian kalangan untuk melirik usaha penjualan air minum galon isi ulang. Sehingga peluang usaha depot pengisian air minum galon saat ini bagi sebagian orang  adalah usaha yang menjanjikan terlebih konsumsennya adalah masyarakat yang hidup diperkotaan. Karena hanya bermodalkan air saja yang diperoleh dari sumur bor, untung-untung air yang dijual terlebih dahulu melewati tahapan ultraviolet dan ditambah sedikit campuran zat-zat kimia sehingga air dianggap sudah melewati tahapan standarisasi air minum layak konsumsi. Tapi, apakah semua depot pengisian air minum tersebut menerapkan standarisasi yang sama?? Jika tidak, tentunya hal ini sangat membahayakan bukan bagi kesehatan masyarakat diluar sana??

Jika sudah demikan, siapakah pihak-pihak yang berwenang untuk melakukan peninjauan dan menegur sampai dengan memberikan sanksi terhadap para pemilik usaha depot air minum ilegal dan non ilegal yang tidak menerapkan standarisasi resmi didalam proses operasioanalnya sehari-hari??  tentunya Dinas yang mengeluarkan izin, Dinas Kesehatan masing-masing  Kabupaten dan Kota itu sendiri yang seharusnya berada digarda terdepan untuk mengatur dan mengawasinya. Jangan pula setelah izin diberikan meskipun telah dilakukan peninjauan dilapangan namun pada proses pengawasannya  terkadang terkesan jarang dilakukan.
Kondisi ini tentunya sangat membahayakan bagi kesehatan kalangan masyarakat yang tidak tahu sebagai konsumen mengenai dampak yang ditimbulkannya dikemudian hari. Lantas dimana pula tanggung jawab mereka para dinas terkait yang memiliki tugas dibidang tersebut??
Mungkin kita sependapat  dan benar-benar menghormati, menghargai cara-cara tradisional orang-orang tua kita dahulu yang hanya tahu, kalau air minum itu yang sehat ya harus dimasak terleb dahulu.  Enggak seperti sekarang ini, meskipun zaman terus maju namun ada-ada saja celah yang digunakan untuk mengakal-ngakali proses standarisasi air minum isi ulang ini. Terkadang antara teori dan praktek seperti bertolak belakang. dimana ada uang semua perkara akan gampang, lantas jaminan kesehatan masyarakat sebagai konsumen pun akan melayang??
Masyarakat sebagai konsumen air minum galon isi ulang seperti membeli sedikit demi sedikit piln racun untuk membunuh dirinya sendiri tanpa pernah disadari. masyarakat awam diperkotaan mungkin juga hanya bisa berkata “kita sudah pasrah lah pada Tuhan” hehehee

Musim Kampanye Tiba, Keindahan Wajah Kota Harus Tetap di jaga



Musim Kampanye Tiba, Keindahan Wajah Kota Harus Tetap di jaga

Pesta akbar demokrasi di negeri ini seakan sudah diambang pintu gerbang. Seluruh calon anggota legislatif dari berbagai latar belakang partai di negeri ini tentunya akan benar-benar berjuang menjajakan dirinya alias mempromosikan dirinya secara totalitas melalui berbagai cara demi untuk lebih menarik hati dan simpati masyarakat calon pemilih.
Promosi caleg-caleg ini secara teori tentunya tidak jauh berbeda dengan teori promosi usaha/bisnis. meskipun pada kondisi realitanya dilapangan ada sedikit perbedaan antara konsep promosi usaha/ bisnis dengan promosi caleg.
Tapi pada intinya, para calon anggota legislatif ini juga membutuhkan promosi dan publikasi melalui bermacam-macam cara, baik itu melalui pendekatan promosi secara langsung dengan terjun ketengah-tengah masyarakat  mau pun melalui bermacam-macam cara lain sebagainya.

Disamping itu, promosi diri melalui bermacam-macam media juga turut dilakukan dengan harapan lebih dikenal dan lebih populer lagi ditengah-tengah masyarakat. upaya yang dilakukan para pengejar kursi empuk  wakil rakyat ini tanpa disadari, mereka pada dasarnya sudah membranding dirinya, alias membangun sebuah merek yaitu diri mereka sendiri kemudian dilempar kepasaran dengan menjadikan masyarakat sebagai konsumennya.
Harapan akhir dari publikasi dan promosi yang dilakukan para calon anggota legislatif ini adalah, terpilihnya mereka untuk duduk dikursi dewan perwakilan rakyat mewakili daerah asal pemilihan (Dapil) masing-masing.

Kondisi seperti ini tentunya tidak dipermasalahkan, dan kita wajib memakluminya. meskipun seluruh media saat ini dibanjiri oleh iklan-iklan promosi caleg-caleg yang terkadang sempat membuat jenuh dan jengah para penikmati media. hal ini sebagai konsekuensi bagi sebuah negara yang menganut sistem demokrasi yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada seluruh warga negara indonesia termasuk kebebasan berpolitik sebagai mana yang diamanahkan oleh undang-undang dasar Republik Indonesia.

Meskipun demikian, kebebasan tersebut bukan berarti memberikan kesempatan seluas-luasnya pula bagi mereka para oknum calon anggota legislatif untuk mempromosikan diri dengan mengabaikan aspek-aspek sosial dan lingkungan.  sebagaimana judul tulisan yang penulis angkat di atas yaitu “Musim Kampanye Tiba, Keindahan Wajah Kota Harus Tetap di jaga”.
Meskipun secara jelas dan gamblang dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum  (KPU) tentang pedoman pelaksanaan kampanye legislatif. Pada pasal 17, peraturan tersebut dengan jelas menyatakan alat peraga kampanye tidak dipasang ditempat-tempat antara lain seperti jalan-jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, taman, dan pepohonan.
Namun realitanya sampai hari ini masih bagitu banyak pelanggaran yang ditemukan dilapangan. Apakah persoalan ketidak tahuan para oknum caleg tentang peraturan ini yang menyebabkan masih saja ditemukannya pelanggaran pemasangan alat peraga kampanye tersebut? tentunya kita juga tidak tahu. Atau kah oknum caleg yang tahu pura-pura dengan sengaja tidak tahu?? waullahhualam saja, hanya Tuhan yang tahu.

Jika oknum caleg yang sampai saat ini masih terkesan membandel, tentunya pihak yang harus berada digarda terdepan untuk menegakan peraturan tersebut adalah KPU, BAWASLU beserta Pemerintah  setempat melalui dinas-dinas terkait yang diharapkan turut membantu.
melalui peraturan KPU ini juga sebenarnya bisa dijadikan landasan yang baku bagi  aparatur daerah Kabupaten dan Kota  untuk menindak tegas para oknum calon anggota legislatif yang masih melanggar peraturan KPU tersebut  dengan mencopot atribut/ alat peraga kampanye oknum calon anggota legislatif yang bersangkutan sampai dengan memberikan sanksi yang tegas kepada oknum caleg yang terkesan mengotori indahnya wajah kota.

Isu hangatnya bentuk pelanggaran yang dilakukan oknum para calon anggota legislatif di negeri ini acap kali menjadi bahan pemberitaan oleh media-media lokal maupun media nasional terlebih yang menyangkut terhadap persoalan keindahan lingkungan di Kabupaten dan Kota.
Tentunya kondisi ini sangat mengkhawatirkan, selain terkesan  merusak tatanan keindahan bagi wajah kota. banyaknya alat peraga kampanye/atau media promosi seperti banner, spanduk, pamflet yang bergantungan dimana-mana seperti di pohon-pohon yang terdapat di kiri-kanan jalan tempat jalur pedestrian maupun pada pohon-pohon yang terdapat di jalan-jalan lingkungan disekitar kita seakan menambah kesemerawutan wajah kota kita.
Rendahnya kesadaran para oknum calon wakil rakyat kita ini tentunya menimbulkan sebuah tanda tanya besar di benak kita akan kepedulian sang “caleg” terhadap lingkungan.
Belum lagi ditambah dengan kegiatan kampanye ditempat-tempat terbuka yang dilakukan secara bergantian oleh masing-masing partai beserta caleg dan kader-kadernya yang menimbulkan  terjadinya aktivitas keramaian yang biasannya akan di ikuti pula dengan timbulnya keserawutan sampah dimana-mana. Tentunya kondisi ini sangat mengganggu kebersihan, keindahan dan kenyamanan suatu kota. Jika sudah demikian, lagi-lagi para petugas kebersihan yang akan menjadi ujung tombak upaya pembersihan sampah tersebut.


Pohon bisa meregang nyawa akibat paku

Hati-hati, Pemasangan alat peraga kampanye dengan cara dipaku pada batang pohon tentunya sangat membahayakan bagi “si pohon” tersebut. mungkin hal ini yang belum dipahami secara menyeluruh oleh para calon wakil kita ini.
Paku yang tertancap pada batang pohon tentunya lambat laun akan menimbulkan karat. Karat tersebut pula yang memicu terjadinya kerusakan jaringan xilem dan floem pada batang pohon, kondisi ini lambat laun akan mengakibatkan terjadinya proses kelapukan pada sang pohon dan lambat laun berujung kepada tewasnya sang pohon.

Padahal pohon dalam peranannya sehari-hari begitu bermanfaat seperti menahan laju air permukaan dan erosi, menjaga kesuburan tanah, menghasilkan oksigen (O2) dan mengurangi karbondioksida (CO2) yang dihasilkan dari gas buang kendaraan bermotor, Lingkungan menjadi nyaman, pohon juga sebagai Produsen pangan, sebagai peredam kebisingan, komponenen estetika hijau nan indah diperkotaan.
Disamping itu tanpa disadari pohon juga berfungsi memberikan keseimbangan bagi suhu udara diperkotaan. Kita bisa sedikit membayangkan jika suatu kabupaten atau kota sudah tidak ditemukan lagi pohon. Kondisi panas, gersang, tentunya akan membuat rasa ketidak nyamanan bagi para penghuninya.
Sehingga tidak salah jika negara tetangga kita yaitu singapura yang terkenal dengan Garden city (Taman Kota) sangat getolnya melakukan pembibitan, penanaman, pemeiliharaan  terhadap pohon. Kunci keberhasilan negara tersebut memberikan rasa aman dan nyaman ternyata tidak lepas dari tingginya tingkat kepedulian pemerintah setempat dan masyarakatnya terhadap pohon.

Kondisi memperihatinkan yang terjadi di negeri kita saat ini justru berbanding terbalik dengan negara tetangga kita tadi,  melihat apa yang dilakukan sang oknum caleg saat ini tentunya sangat mengecewakan LSM, Penggiat lingkungan, ahli akademisi, terlebih lagi masyarakat sebagai calon pemilih. Perilaku oknum caleg ini terkesan tidak mau tahu dan sebagiannya lagi  seakan dengan sengaja menutup mata dan telinga. mungkin yang ada dibenak mereka “yang penting wajah mereka terpampang dipinggir jalan, bergantungan di batang pohon, lantas masyarakat akan melihatnya dan nanti akan dipilih”. Padahal masyarakat kita sebagai calon pemilih saat ini bukan lah terlalu buta dan justru jauh lebih pintar dalam memberikan penilaian kepada sang oknum caleg tersebut.
Bisa-bisa tanpa disadari perilaku  oknum caleg tersebut justru hanya akan memperburuk citra dan memperburuk pamor sang oknum caleg yang dianggap tidak memiliki kepekaan terhadap persoalan lingkungan terlebih lagi perilaku oknum caleg tersebut tentunya hanya akan membuat lari  para calon pemilih nantinya.


Perlu dilakukan aksi kontrol bersama

Disamping Pemerintah baik ditingkat Kabupaten dan Kota pihak KPU beserta BAWASLU yang diharapkan berada digarda terdepan dalam menangani persoalan ini. Keterlibatan masyarakat, ahli akademisi, LSM, Penggiat lingkungan juga bisa turut serta dalam berpartisipasi melakukan aksi kontrol bersama dengan memerangi alat peraga kampanye seperti banner, spanduk, pamflet yang terdapat pada pohon-pohon yang ada di sekitar kita.
Disisi lain, Walikota dan Bupati juga bisa mengeluarkan surat edaran berisikan pemberitahuan kepada jajarannya sampai ketingkat RT dan RW dalam rangka bersama-sama memberikan kontrol terhadap lingkungan disekitar kita. Sementara itu pihak KPU dan BAWASLU juga diharapkan bisa memanggil oknum-oknum caleg  yang dinilai melakukan pelanggaran tersebut dengan berpedoman pada peraturan KPU. Pemberian sanksi atau punishment juga perlu dilakukan sebagai wujud nyata ketegasan KPU dan BAWASLU terhadap penegakan peraturan KPU pasal 17. Jangan sampai peraturan hanya tinggal peraturan saja, dibuat tanpa pernah dijalankan.

Dengan demikian harapan kita akan terciptanya penyadaran secara hukum dan moral bagi oknum caleg tersebut dalam rangka turut mendukung  proses pesta akbar demokrasi negeri ini tanpa harus mengabaikan aspek kepedulian terhadap lingkungan. terlebih upaya ini diharapkan bisa turut membantu Kabupaten dan Kota yang memiliki Visi dan Misi mewujudkan Kabupaten dan Kota yang memberikan rasa aman dan nyaman bagi para warga kotanya seperti Kota Pekanbaru yang ingin mewujudkan Kotanya menjadi Kota Metropolis yang madani.