Laman

Minggu, 24 Maret 2013

RTH di Lingkup Universitas, Bisakah diakses untuk Khalayak Umum??




 
Ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Pekanbaru tampaknya masih jauh dari besaran proporsi yang diamanatkan didalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang.
Besaran proporsi yang diamanatkan pun bukan main-main, yaitu paling sedikit sebesar 30% dari total luas suatu wilayah/ kota. Besarannya pun telah diatur pula, yaitu sebesar 20% terdiri dari ruang terbuka hijau bersifat publik (umum) dan 10% berupa ruang terbuka hijau bersifat privat (pribadi).

Tentunya, hal ini akan menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi Pemerintah Kota Pekanbaru yang relatif cukup berat untuk beberapa tahun kedepan, minimal diperiode pertama ini. Menilik fakta dan kondisi saat ini, berdasarkan buku sakti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Pekanbaru yang sedang dalam proses revisi alias sedang masuk meja operasi guna diperbaharui data-datanya agar tidak ketinggalan.
Kota Pekanbaru saat ini memiliki luas wilayah sebesar 63.226 Ha, baru memiliki ketersediaan ruang terbuka hijau sebesar 8.113,49 Ha, yang terdiri dari RTH yang bersifat publik sebesar 1.790,89 Ha atau sekitar 2,83%. Sementara itu, ketersediaan ruang terbuka hijau yang bersifat privat atau pribadi baru tersedia sebesar 6.322,6 Ha. Dengan kondisi demikian, artinya ada sebesar 12.645,2 Ha lahan lagi yang harus disediakan oleh Pemerintah Kota Pekanbaru guna memenuhi kebutuhan minimal ruang terbuka hijau sebagaimana yang diamanatkan didalam undang-undang penataan ruang. 

Lantas pertanyaannya, kapan kah ketersediaan ruang terbuka hijau sebesar 12.645,2 Ha itu akan terpenuhi? tentunya, hal ini mengundang tanda tanya besar dibenak kita semua bukan?
Mengingat, begitu banyaknya persoalan yang harus dihadapi PEMKO dalam rangka menyediakan sisa kebutuhan ruang terbuka hijau saat ini. salah  satunya yaitu, persoalan harga ganti rugi lahan yang berada dikawasan Kota Pekanbaru yang relatif mahal. Dan kondisi ini tentunya membuat Pemerintah Kota Pekanbaru harus berfikir keras guna menyediakan quota kebutuhan RTH di Kota Pekanbaru.
Hal ini tentunya sangat beralasan, mengingat masa jabatan dalam sistem Pemerintahan kita sebagaimana yang telah diatur, hanya berdurasi selama lima tahun. Sementara itu, kita semua kedepan pastinya juga belum tahu apakah Pemerintahan yang sekarang akan berlanjut lagi dua periode atau selesai begitu saja alias digantikan oleh Pak Wali atau Buk Wali yang baru. Kita pun nggak tahu lah, hanya Tuhan yang tahu.  
Kekhwatiran ini tentunya sangat beralasan, mengingat ketika kepala daerah berhasil memenangkan pemilihan umum menjadi Bupati/Walikota, tentunya banyak program prioritas yang lebih diutamakan, terlebih kepada tim-tim sukses atau kepada tim dari partai koalisi yang menuntut janji sang kepala daerah/walikota ketika telah menjabat. 

Sementara itu, meskipun program pembangunan jangka menengah dan jangka panjang telah diatur baik didalam  RTRW maupun didalam program lainnya, tidak jarang kepala daerah atau walikota terpilih yang baru enggan melanjutkan atau meneruskan program-program dari kepala daerah terdahulunya, sehingga tidak jarang beredar wacana yang terbentuk ditengah masyarakat “lain Pemerintahnya lain pula programnya” masyarakat pun seakan tahu betul dengan sifat pemimpin kita dan memaklumi hal itu semua.
Alasannya pun beragam pula, mulai dari rasa gengsi walikota/ kepala daerah untuk melanjutkan program pemerintah terdahulu guna menghindari kesan dan anggapan dimasyarakat bahwasannya itu adalah program dari walikota/kepala daerah terdahulunya, terlebih jika program itu berasal dari lawan politiknya, Hmmm....alamatlahhh pak cik.
Disamping itu juga, kebiasaan walikota/kepala daerah kita saat ini yang suka memberikan kesan atau kenang-kenangan diakhir masa jabatannya berupa hasil-hasil pembangunan yang bersifat fisik semasa menjabat juga menjadi alasannya sampai-sampai ada yang rela juga mewakafkan dirinya sendiri demi tercapainya harapan dari sang walikota/kepala daerah.
Sehingga terkadang peran para Dinas-dinas dibawah kepemimpinan walikota/kepala daerah yang baru yang seharusnya memiliki peran yang cukup diperhitungkan dibidangnya terkadang hanya bisa jadi boneka setingan sang walikota/kepala daerahnya saja.
“macam-macam saye mutasi, saye non jobkan” sehingga tidak heran pencapaian program pembangunan di kota-kota kita terkadang tak pernah bisa mencapai 101%.
Kembali lagi pada masalah utama diatas, disamping persoalan yang akan menjadi kendala berat PEMKO didalam menyediakan kebutuhan ruang terbuka hijau di Kota Pekanbaru kedepan. pola sederhana lainnya yang biasa ditempuh seperti melakukan pembelian lahan, Konsolidasi lahan untuk menyediakan RTH kedepan bukanlah persoalan gampang, kita semua bisa bayangkan berapa APBD Kota Pekanbaru yang harus terkuras-kuras untuk mewujudkan ketersediaan ruang terbuka hijau tersebut ditengah begitu fantastisnya harga lahan di kota kita??
Sempat beberapa waktu lalu Pemerintah Kota Pekanbaru melontarkan wacana di media surat kabar bahwasannya, kawasan Universitas Riau nantinya akan dibangun kolam retensi dalam rangka menanggulangi persoalan klasik berkuahnya Kota Pekanbaru yang hingga saat ini belum menemukan jalan keluarnya. Selain itu, area disekitar kawasan kolam retensi tersebut juga akan diplot sebagai ruang terbuka hijau.
Lantas pertanyaannya, prinsip ruang terbuka hijau saat ini yang berupa kolam retensi dan rencananya juga akan didesain lengkap dengan taman. Apakah bisa diakses alias dikunjungi setiap waktu oleh masyarakat dari luar area kampus?? Mengingat lokasi yang akan dijadikan ruang terbuka hijau tersebut berada dilingkungan kampus, “salah-salah masyarakat nantinya akan diusir oleh penjaga kampus”, meskipun lahan Universitas Riau merupakan aset Pemerintah namun pada realitanya sukar juga untuk bisa diakses, terlebih untuk kepentingan khalayak umum.
Jangan sampai perosalan 30% penyediaan RTH tersebut membuat pemerintah benar-benar terkesan hanya mengejar quota saja, namun secara fungsi dan implementasi dilapangan tidak bisa diakses oleh masyarakat umum.  
Sehingga fungsi dari RTH khususnya yang bersifat publik tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya, yang mesinya berperan sebagai area resapan air dan juga sebagai ruang-ruang yang memberikan akses bagi warga kotanya untuk melakukan kontak sosial dan berinteraksi antar sesama warganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar