Laman

Sabtu, 19 April 2014

MENUJU KOTA TAK BERIDENTITAS



MENUJU KOTA TAK BERIDENTITAS


            Kota sejatinya tidaklah jauh berbeda dengan manusia. Jika manusia memerlukan sebuah nama untuk membedakan antara manusia satu dengan manusia yang lainnya. fungsi nama juga banyak lagi kegunaanya, mengingat nama merupakan sebuah identitas jati diri seseorang seseorang yang diperoleh dari kesepakatan antara kedua orang tua kita dulu kepada kita. Namun, apa kah cukup dengan menggunakan sebuah nama saja kita sudah dengan gampangnya akan dikenal dan di ingat oleh orang? Apalagi jika kita bertemu dengan dua orang yang memiliki nama yang serupa.
Tentunya kita akan semakin sukar pula membedaknnya bukan? Nah,,,pastinya  kita dituntut untuk memberikan tambahan-tambahan informasi lebih detil lagi untuk membedakan dua orang yang memiliki nama yang sama tadi tentunya. Seperti jenis kelamin, tinggi badan, warna kulit, model rambut, bentuk kumis, logat berbicara, tahi lalat dan masih banyak lagi cara kita untuk membedakan antara orang yang satu dengan orang yang lain. Dengan demikian tentunya kita pasti akan semakin mudah dan gampangnya mengenal dan membedakan dua orang tersebut.

Hal tersebut juga tidak jauh berbeda dengan sebuah Kota/Propinsi. Jika kita mendengar  nama Kota Sumatera Barat (Sumbar) apa yang ada di fikiran kita tentang sumbar? Fikiran kita tentunya lantas secara langsung akan membayangkan hal-hal yang cenderung dengan mudah dan gampangnya diingat oleh semua orang bukan??, seperti simbol rumah gonjong yang menyerupai tanduk di ujung-ujung atap bangunannya (sebutan rumah adat sumbar), Simbol Jam gadangnya, simbol tugu penari piringnya, rumah adatnya, kondisi jalannya. Kesemuanya itu merupakan ciri khas dari Kota/Propinsi Sumbar yang tanpa disadari oleh kita merupakan bagian dari elemen pembentuk identitas suatu kota yang sering disebut sebagai wajah kota. Dan itu merupakan bagian pembentuk jati diri dari masing-masing Kota/Propinsi yang tidak akan pernah dimiliki oleh Kota/Propinsi mana pun di negeri ini.  Dan itu lah kota yang beridentitas.
Begitu juga jika penulis menyebutkan nama Sumatera Selatan (Palembang), tentunya kita semua akan dengan cepat membayangkan bagaimana kondisi disana seperti adanya sebuah sungai yang membelah kotanya, adanya sebuah jembatan yang terkenal dengan gaya dan corak arsitektural yang menjadi kebanggaan sekaligus maskot Kota/Propinsi mereka yaitu jembatan amperanya.

Berbicara wajah Kota tentunya sangat erat keterkaitannya dengan arsitektural kota itu sendiri siapa dan bagaimana masyarakatnya. Jauh-jauh hari Prof. Eko budihardjo bercerita dalam bukunya yang berjudul Tata Ruang Perkotaan (1997) beliau menyebut “kota seperti halnya arsitektural, sering disebut sebagai cerminan budaya masyarakatnya”.
Artinya, sebuah Kota/Propinsi dapat terlihat kondisi budayanya masih terjaga kah?, terpelihara kah?, dicintai kah oleh masyarakatnya, Kepala Daerahnya. kesemua itu bisa terlihat dari corak-corak bangunan yang ada di Kota/Propinsi tersebut.
Jika semakin sulit ditemukannya arsitektural khas suatu Kota/Propinsi, tentunya semakin mulai terasa pula mumudarnya identitas budaya dari suatu kota. Keacuhan dan ketidak pedulian warga kotanya juga turut memberikan indikasi budaya suatu kota/Propinsi yang mulai ditinggalkan terlebih lagi oleh kepala daerahnya itu sendiri yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga, melindungi hasil nilai-nilai kebudayaan, kearifan lokal di daerahnya sendiri yang di ekspresikan lewat corak arsitektural asli daerahnya. namun terkadang  justru sang kepala daerah pula yang menjadi oktor utama dibalik hilangnya identitas suatu kota.

Wajah Kota Pekanbaru hari ini

Ditengah Hiruk pikuknya pembangunan Kota Pekanbaru sebagai pusat ibu Kota Propinsi Riau dan juga sebagai pusat Pemerintahan Kota Pekanbaru, secara tidak langsung menjadikan Kota Pekanbaru sebagai barometer penilaian utama orang luar terhadap Riau.
Bagaimana kesan tersebut tercipta tentunya tidak terlepas dari bagaimana wajah kotanya. perkembangan pembangunan di Kota Pekanbaru tampaknya belakangan ini mulai mengarah kepada pembangunan gedung-gedung yang berbau modernisasi ala luar negeri yang sengaja ataupun memang benar-benar sengaja tidak menyematkan nilai-nilai, unsur arsitektural budaya melayu yang merupakan ciri khas kebanggaan dari warga melayu Riau.
Selembayung berwarna kuning cantik nan elok ditambah ukiran yang menawan tidak pernah lepas dari corak yang sengaja disematkan disetiap model bangunan khas Riau, itu pun hanya disematkan pada bangunan-bangunan lama milik pemerintah yang lambat laun juga akan mengalami nasib yang menyedihkan yaitu dibongkar dan diganti dengan model bangunan yang baru.
Bangunan-bangunan milik pemerintah sendiri seperti Gedung Perpustakaan Soeman Hs yang kebesaran rangka, Gedung sembilan lantai nan megah serta canggih berbalutkan kaca disamping kantor Gubernuran, Gedung Bank Riau Kepri yang tak kalah berkaca-kacanya, dan yang terakhir adalah Kantor milik Dinas Pekerjaan Umum (PU) di Arengka dua yang tak kalah canggih dan hebatnya dengan gedung sembilan lantai disamping gubernuran.

Kondisi tersebut menurut penulis, ini merupakan pertanda mulai terlihatnya selera pemimpin negeri kita saat ini kepada arsitektural yang berbau kenegri-negrian luar, milik orang luar dibandingkan kecintaan mereka terhadap arsitektural asli Riau itu sendiri. dan hal ini patut kita pertanyakan. Ada apa dengan arsitektural budaya melayu Riau? Kian hari kian dizolimi, dicampakkan dan kian hari kian ditinggalkan. Apakah kemajuan harus di ukur dari tingkat kecanggihan dan kemelekan pemerintah yang dengan gampangnya mengadopsi arsitektural bergaya luar negeri biar enggak dianggap kuno atau ndeso?? Atau kepala daerah tersebut menganggap gaya arsitektural milik negeri tetangga atau negara-negara di Barat, Eropa bahkan di Timur tengah sana jauh lebih bagus dan mantap sementara corak arsitektural bangunan khas Suku asli melayu Riau dianggap kuno dan tak elok?? Lantas dengan mudahnya begitu saja membongkar, merombak bangunan-bangunan asli berciri khas kan arsitektural melayu Riau yang memiliki nilai sejarah kehistorisan tinggi dari nenek moyang suku asli melayu Riau sendiri.
Kita patut mempertanyakan mengapa pemerintah kita lebih suka mengikut-ikuti gaya arsitektural hasil karya budaya negara orang lain diluar sana. Yang tidak ada sangkut paut, hubungannya sama sekali dengan latar belakang kehistorisan arsitektural budaya melayu Riau. Kesan yang tercipta jika kita terlalu membanggakan sampai dengan mengadopsi gaya arsitektural milik orang, kita terkesan seperti orang yang tidak memiliki jati diri, seperti orang yang tidak punya sejarah kebudayaan masa lalu.
Peng-copy paste-an arsitektural bergaya luar negeri justru hanya akan membuat kebingungan para pendatang yang berasal dari luar kota melihat wajah Kota/Propinsi kita yang mirip dan serupa dengan negara luar disana. Terlebih lagi jika perubahan gaya arsitektur itu dilakukan pada kantor utama milik sang kepala daerah sebagai pusat utama pemerintahan tertinggi di Riau yang belakangan ini menjadi polemik ditengah masyarakat. Lantas mereka pun bertanya, “apa hubungan Riau dengan gaya arsitektural negara luar yang terlihat dari bangunan-bangunan yang ada di Kota Pekanbaru?” dengan kondisi ini juga meberikan kesan secara tidak langsung tanpa disadari ini merupakan pemutusan mata rantai sejarah arsitektural asli Riau secara perlahan-lahan.
Jadi jangan heran jika suatu saat nanti orang beranggapan setiap kali datang ke Kota Pekanbaru sebagai pusat pemerintahan Propinsi Riau serasa menginjakan kakinya dinegeri eropa atau Timur Tengah atau bahkan serasa di Amerika yang terkenal dengan gedung putih (white house) kediaman milik Presiden Amerika Serikat di Washington, DC yang ada kubah-kubah putih diatas gedungnya. Karena orang menganggap arsitektural Riau mirip alias sama dengan yang diluar sana. Kalau lah sudah mirip tentunya tidak ada kesan yang mengena dihati para pendatang  mengenai Riau. Padahal perbedaan yang kental dan menonjol yang dimiliki setiap Kota/Propinsi di seluruh negara di belahan bumi ini seharusnya yang menjadi sebuah kebanggan, karena Kota/Propinsi ini berani menunjukan karakter jati dirinya yang berasal dari unsur budaya lokal asli tempatan.

Patut menangis sembari bersedih hati  mungkin adalah ekspresi yang jelas tergambar dari raup wajah mereka almarhum nenek moyang kita, orang tua kita sebagai pejuang, pencipta budaya-budaya melayu Riau yang  bersusah payah, bergelut dengan waktu berpuluh-puluh tahun memikirkan, menciptakan  memadukan budaya asli melayu Riau dengan nilai-nilai kesejarahan yang sesuai dengan kepribadian suku melayu, agama, adat istiadat, nilai-nilai kearifan lokal sebagai identitas yang kelak akan diwariskan kepada generasi mendatang.  
Padahal gedung-gedung canggih yang merupakan produk riset para ilmuwan dibidang rekayasa arsitektural moderen zaman sekarang sejatinya sebuah karya monumental yang sekilas sangat mengaggumkan namun sebenarnya mereka adalah gedung-gedung kosong yang tidak bermarwah, tidak berbudaya, tidak beridentitas akibat tidak diketahuinya sejarah masalalu peradaban arsitektur nenek moyangnya.

Limited itu yang Tidak Ternilai Harganya

Mungkin Negara seperti Singapura boleh bangga dengan gedung Marina Bay Sand nya yang melintang bak sebuah kapal yang ditopang oleh tiga gedung super dibawahnya ibarat kapal diatas langit. Tapi sadarkah kita, singapura sebenarnya negara yang maju korban pengadopsi unsur arsitektural modrenisai berbasis teknologi tinggi yang mengusung konsep kota hijau (city in a garden) hingga semua mata dunia seakan dibuat buta dengan mahakarya agung arsitektural modern mereka. Dan semua orang banyak yang berharap bisa datang, tinggal dan hidup disana.
Tapi kita tidak pernah berfikir kalau sejatinya mereka adalah negara yang (maaf) sangat miskin dan  yatim piatu. Mengingat mereka seperti orang yang tidak tahu asal-usul asli dirinya, siapa jati diri asli bangsanya, siapa nenek moyang asli bangsanya? Masih adakah jejak peninggalan dari nenek moyangnya dalam bentuk budaya seperti arsitektural peninggalan nenek moyang suku mereka yang dijaga dan diwariskan secara turun menurun oleh generasi mereka?? Justru yang ada hanya bangunan-bangunan, gedung-gedung canggih yang dirancang dan didesain oleh para ilmuan arsitektur abad dua puluh satu saat ini.

Melihat fenomena yang terjadi di negara tersebut, rasanya kita patut bersyukur dan seharusya bangga dengan apa yang kita miliki saat ini. Kita diwarisi karya arsitektural budaya asli milik suku melayu kita. Dan yang lebih penting lagi kita bukan termasuk kedalam golongan (maaf) Yatim piatu yang tidak tahu siapa orang tuanya, nenek moyangnya sejak lahir sehingga wajar saja seperti Negara Singapura tidak tahu bagaimana kebudayaan warisan nenek moyangnya? Mereka seperti kehilangan jati diri bangsanya sediri.
Sementara kita di Riau sudah sepatutnya bersyukur hingga detik ini masih ada budaya dan kebudayaan melayu Riau yang masih terjaga meskipun terseok-seok penjagaanya akibat derasnya gempuran budaya asing ditambah lagi dengan semakin tingginya keheterogenan suku di Kota Pekanbaru. Jikalah sudah demikian, seharusnya kita seluruh stakeholder baik Pemerintah, masyarakat, Tokoh Lembaga Adat, akademisi, praktisi, swasta, bersama-sama, berjuang,  bahu membahu turut serta menumbuhkan rasa kecintaan dan rasa memiliki terhadap warisan kebudayaan melayu itu sendiri. salah satu caranya bisa dengan mengaplikasikan gaya arsitektur bangunan warisan nenek moyang melayu kita dengan konsep-konsep bangunan moderen masa kini, sehingga semoderen apa pun zaman.  wajah kota kita kedepan tetap memiliki kepribadian dan jati diri yang kuat yang tetap melekat erat sebagai identitas asli Riau.
Jangan pula kita lebih tertarik oleh hasil budaya dan karya dari negara orang diluar sana. Jika kita lebih cinta dan terpesona akan kecantikan arsitektur luar tentu kita patut mempertanyakan dimana asal muasal kita sebagai orang melayu yang menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal milik kita sendiri? terlebih bagi sang kepala daerah itu sendiri yang terkadang justru malah menjadi dalang utama dibalik rusaknya jati diri suatu Kota/Propinsi dengan kebijakan-kebijakan pribadinya saja.

Mungkin kedepan kita perlu belajar mengadopsi filosofi dari seorang kolektor barang antik. Mereka tidak pernah memikirkan seberapa besar harus mengeluarkan uang atau materi untuk memperoleh sebuah hasil karya atau peninggalan kebudayaan nenek moyang yang menurut dirinya sangat begitu berharga dan tidak akan mungkin bisa diciptakan lagi dizaman sekarang, karena dia tahu ini akan terbatas dan wajar saja para kolektor tidak akan pernah bisa menilai atau mengukur hasil warisan kebudayaan dengan materi yang banyak sekalipun karena barang antik merupakan sesuatu yang tak ternilai harganya.
Perencanaan Harus bersifat Buttom up bukan Top Down saja.

Mungkin kita harusnya belajar dari permasalahan dimasa lalu dan jangan sampai terulang kembali dimasa yang akan datang. Seperti kasus ketidak setujuannya masyarakat, Tokoh Lembaga Adat, Akademisi, Praktisi terhadap kebijakan pembangunan tugu bahenolnya (plesetan nama tugu titik NOL) pada masa kepemimpinan Gubernur Ruzli Zainal yang terletak dibundaran depan alun-alun Gubernuran. Alih-alih ingin mengekspresikan dua orang penari zapin Riau dalam bentuk patung namun pada akhirnya banyak menuai kritik dan protes. Hal ini dirasa sangat wajar, artinya Pemerintah dianggap gagal melakukan pendekatan dalam kaidah perencanaan sebenarnya yang hanya  mengakomodir kemauan pemerintah saja (Top Down Planning) sehingga terkesan arogan tanpa mau mengakomodir pendapat, partisipasi dari masyarakat, Tokoh Lembaga Adat, Akademisi, Praktisi. Akibat adanya ketidak cocokan antara nilai-nilai yang ter-ekspresikan dari karya patung tersebut yang kurang memuatkan unsur, nilai-nilai agama, kearifan lokal dalam khasanah budaya Riau.

Kedepan apapun kebijakan perencanaan pembangunan sudah semestinya mengadopsi prinsip perencanaan berbasis partisipasif (Buttom up Planning) karena sejatinya perencanaan sudah seharusnya menganut konsep berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat pula. Dan bukan untuk kepentingan perorangan semata. Sudah sepatutnya kita lebih bangga dengan hasil karya budaya arsitektural buatan nenek moyang kita yang tidak dimiliki oleh Kota/Propinsi/Negara mana pun di dunia ini dengan menjadikannya sebagai identitas jati diri Kota kita. Kebanggaan kita terhadap hasil karya orang diluar sana justru hanya akan menjadikan awal kehancuran dan penyebab hilangnya identitas asli budaya kita sendiri.

Filosofi melayu “Dimana bumi dipijak disitulah langit dijunjung, tak-kan hilang melayu di bumi”  sudah sepatutnya kita junjung tinggi sebagai konsep dasar berfir dalam melakukan perencanaan terlebih lagi perencanaan yang mengandung unsur nilai-nilai kearifan lokal.
dengan demikian harapan kita semua, Riau kedepan akan menjadi Riau yang beridentitas  identitas yang jelas yang tercermin dari ragam arsitektural asli milik kita sendiri sehingga Riau akan menjadi negeri yang berjati diri dan bermarwah melayu melalui wajah kotanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar